RKUHP Muat Pasal Kumpul Kebo, Apa Sih Sebenarnya Istilah Itu?

Pasal kumpul kebo jadi kontroversial

Jakarta, IDN Times - Belum selesai masalah kebakaran hutan dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), publik kini dihebohkan dengan pasal di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang kontroversial.

RKUHP baru selesai pada Minggu (15/9) lalu, dan akan disahkan pada 24 September mendatang. Namun, banyak pasal yang menjadi sorotan dalam undang-undang ini, di antaranya pasal yang mengatur tentang 'kumpul kebo'.

Baca Juga: Ini 10 Pasal di RKUHP yang Mengancam Kebebasan Berpendapat dan Pers

1. Pasal 419 RKUHP

RKUHP Muat Pasal Kumpul Kebo, Apa Sih Sebenarnya Istilah Itu?pixabay.com/succo

Dalam Pasal 419 RKUHP tertulis, bagi yang melakukan kumpul kebo atau tinggal satu atap seperti suami istri tanpa ada ikatan pernikahan, akan mendapat ancaman tindakan pidana.

“Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II” demikian bunyi Pasal 419 ayat 1 RKUHP.

Bagi yang melakukan tindakan tersebut juga akan mendapat pidana paling lama enam bulan penjara. Pasal ini berlaku jika ada pengaduan dari pihak keluarga.

2. RKUHP menjadi sorotan dan perdebatan

RKUHP Muat Pasal Kumpul Kebo, Apa Sih Sebenarnya Istilah Itu?IDN Times/Irfan Fathurohman

Dikutip dari berbagai sumber, DPR dan pemerintah merampungkan RKUHP secara tertutup, sebelum sampai ke telinga publik. Dalam rancangan undang-undang yang telah disepakati ini, banyak pasal yang menuai kontroversi dan menjadi sorotan, karena dinilai merugikan banyak pihak. Termasuk pasal kumpul kebo yang diperbincangkan publik.

3. Istilah kumpul kebo ternyata berasal dari bahasa Belanda

RKUHP Muat Pasal Kumpul Kebo, Apa Sih Sebenarnya Istilah Itu?Unsplash.com / James Scott

Dikutip dari berbagai sumber, ternyata kumpul kebo merupakan istilah dari zaman Belanda, yaitu “Koempoel Gebouew”, yang artinya berkumpul di satu atap rumah tanpa ikatan pernikahan. 

Gebouew sendiri merupakan bahasa Belanda yang berarti rumah. Istilah tersebut kemudian dipelesetkan menjadi kata "Kebo" yang merujuk pada hewan Kerbau. Padahal itu bukan bahasa Indonesia. 

Nah, sekarang udah paham kan istilah ini bukan salah si kerbau, guys?

4. Ada 10 pasal kontroversi dalam RKUHP

RKUHP Muat Pasal Kumpul Kebo, Apa Sih Sebenarnya Istilah Itu?IDN Times/Sukma Shakti

Dari banyaknya pasal-pasal yang ada di dalam RKUHP, ada beberapa pasal yang menjadi kontroversial. Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) melihat ada upaya dari DPR dan pemerintah, yang berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat, terutama bagi kerja-kerja jurnalistik.

Dikutip dari laman Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), ada 10 pasal yang dianggap bermasalah. Pertama, Pasal 218-220. Dalam draf versi 28 Agustus 2019, pasal yang sebelumnya dikenal dengan nama tindak pidana “penghinaan presiden” berganti terminologi menjadi “Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 218-220 RKUHP.

Pemerintah dan DPR terus bersikeras mengatur tindak pidana ini, dengan berkali-kali menyatakan, “Kita saja mengkriminalisasi penghinaan kepala negara sahabat, maka presiden negara sendiri harus dilindungi.”

Hal ini dinilai sebagai kemunduran bagi demokrasi di Indonesia, dan perumus RKUHP belum sepenuhnya paham konsep reformasi hukum pidana di Indonesia. Di negara demokratis, misalnya, pemerintah Jerman pada 2017, juga menghapus pasal tentang penghinaan kepala negara sahabat. Pemerintah Jerman menilai pasal ini kuno dan tidak diperlukan. Lagi-lagi, negara demokratis tidak pernah menghalang-halangi ekspresi yang sah, terhadap institusi yang bisa dikritik.

Kedua, Pasal 246 dan 247. Dalam Pasal 246 RKUHP mengatur, siapa saja yang menghasut orang lain untuk melakukan tindak pidana ataupun melawan pemerintah, akan diancam kurungan penjara empat tahun. Sementara, Pasal 247 hukumannya empat tahun enam bulan.

Ketiga, Pasal 440 dan 446. Dalam Pasal 440 RKUHP mengatur, orang yang menyerang nama baik atau kehormatan orang lain, dapat diancam maksimal sembilan bulan penjara. Berbeda halnya jika penghinaan dilakukan melalui tulisan atau gambar di muka umum, ancaman pidananya menjadi maksimal satu tahun enam bulan.

Sedangkan, Pasal 446 dalam RKUHP mengatur, orang yang melakukan pencemaran terhadap orang meninggal, diancam hukuman enam bulan penjara.

ICJR melihat dalam pasal-pasal tersebut masih memuat rumusan 'karet', yang berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Termasuk, berpotensi mengkriminalisasi korban yang memperjuangkan hak asasinya yang seharusnya dilindungi.

Kemudian, Pasal 262 dan 263, yang mengatur tentang penyebar hoaks atau berita bohong dan berita tidak pasti, yang berakibat adanya kegaduhan. Sedangkan, Pasal 262 pelaku dapat dijerat dengan kurungan penjara enam tahun, sementara Pasal 263 dua tahun penjara.

ICJR menegaskan dalam pasal-pasal persangkaan terkait penyebaran berita bohong, terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi, sebelum seseorang dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana penyebaran berita bohong.

Pertama, penyiaran berita atau pemberitahuan bohong tersebut harus dengan sengaja atau memiliki niat menimbulkan keonaran di kalangan rakyat. Kedua, orang tersebut harus mengetahui berita tersebut adalah berita bohong, atau orang tersebut setidak-tidaknya harus memiliki persangkaan bahwa berita tersebut adalah berita bohong.

Menurut ICJR kepolisian seharusnya berhati-hati dalam menangkap dan menahan seseorang, serta menetapkan seseorang sebagai tersangka. Sebab, untuk menyatakan seseorang telah melakukan sebuah tindak pidana, pertama terdapat element of crime yang harus dipenuhi, yakni actus reus atau perbuatan, dalam hal ini menyebarkan berita yang tidak benar.

Kedua adalah mens rea yakni niat jahat, dalam hal ini niat untuk menimbulkan keonaran yang muncul dari pengetahuan bahwa berita yang disebarkan adalah benar bohong atau patut diduga bohong.

Meskipun seseorang melakukan perbuatan menyebarkan berita bohong, namun mens rea atau niat jahatnya tidak dapat ditemukan dalam dirinya, maka perbuatan tersebut tidak dapat disebut sebagai perbuatan atau tindak pidana.

Terakhir, Pasal 304 tentang penodaan agama. Pemerintah dan DPR masih akan tetap memasukkan pasal penodaan agama di dalam RKUHP, yang akan diatur dalam Pasal 304, dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.

ICJR menilai selain rumusan ketentuan penodaan agama--baik dalam KUHP maupun RKUHP, yang terlampau kabur dan tidak mempunyai kejelasan tujuan, praktik penegakkan hukum di Indonesia juga memiliki masalah tersendiri.

Dalam praktiknya, ketentuan penodaan agama malah menghambat pemeluk agama atau kepercayaan yang berbeda--terutama kalangan minoritas, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya tersebut.

Dalam kasus-kasus penodaan agama, menurut ICJR, praktik pengadilan tidak bergerak dari asumsi dasar bahwa ukuran benar atau tidak terjadinya penodaan agama, dilihat dari tafsir organisasi keagamaan yang ada.

Karena itu, pengadilan selalu gagal dalam menentukan batas-batas tegas, kapan suatu pernyataan dapat dikategorikan sebagai penodaan atau permusuhan terhadap agama tertentu.

ICJR menyebut, menaksir batas-batas yang diperbolehkan menurut hukum, menjadi pekerjaan besar yang belum pernah tersentuh sampai sekarang. Situasi sulitnya pengadilan menentukan batas-batas ini, merupakan konsekuensi logis dari "lenturnya rumusan delik dalam penodaan agama.”

Baca Juga: Dirumuskan Tertutup, RKUHP Akan Disahkan Pekan Depan

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya