Melawan Politik Uang di Tengah Mahalnya Biaya Politik

Ada 10 provinsi dengan kategori sangat rawan

Laporan Teatrika Handiko Putri, Vanny El Rahman, dan Linda Juliawanti

Jakarta, IDN Times - "Kita PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) komitmen melawan politik uang (money politic) dan politisasi SARA," kata salah satu perwakilan PKB, yang mendapat giliran pertama mendapat pertanyaan dari moderator. 

PKB mendapat pertanyaan dari moderator terkait bentuk komitmen partai yang dipimpin Muhaimin Iskandar itu, dalam melawan politik uang dan SARA. Pertanyaan ini merupakan bagian dari rangkaian acara Deklarasi Tolak dan Lawan Politik Uang dan Politisasi SARA untuk Pilkada 2018 Berintegritas, yang digagas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Sabtu (10/2).

Bawaslu memang sengaja mengundang seluruh perwakilan partai politik untuk membuat kesepakatan bersama, dalam melawan politik uang dan SARA. Semua partai pun mendapat giliran pertanyaan melalui perwakilannya dari moderator.

Sebelum menyatakan komitmennya secara simbolis melalui pembubuhan cat telapak tangan pada spanduk putih, seluruh perwakilan partai diminta maju ke depan panggung untuk menyatakan komitmennya secara lisan.

Setelah PKB, giliran moderator memberikan pertanyaan pada PDIP, dengan pertanyaan soal komitmen partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu, apabila didapati kadernya melakukan politik uang dan SARA. 

"Kalau ada kader PDIP yang melaksanakan politik uang dan SARA, kami akan memecat kader yang melakukan tindak demikian," kata salah salah satu kader PDIP.

Melawan Politik Uang di Tengah Mahalnya Biaya PolitikIDN Times/Sukma Shakti

Pertanyaan selanjutnya diberikan kepada Partai Golkar soal komitmen yang sama. "Saat ini Partai Golkar di bawah kepengurusan baru, Airlangga Hartanto. Kami Mengusung Golkar bersih. Artinya, kami akan melawan politik uang dan identitas," kata kader partai berlambang beringin itu.

Namun, deklarasi untuk melawan politik uang dan SARA yang digelar di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan, itu hanya dihadiri sembilan perwakilan partai politik. Padahal, ada 14 partai yang lolos sebagai peserta Pilpres 2019.

Pertanyaan yang diajukan dari moderator kepada partai politik hampir sama, seputar komitmen melawan politik uang dan SARA pada Pilkada 2018. Jawaban partai pun hampir senada. Mereka berkomitmen melawan dua hal itu, dan siap memberikan sanksi bagi kadernya yang terbukti melanggar dua komitmen itu.

Namun, ada sedikit berbeda dari partai lain. Demokrat yang diminta menyampaikan satu kata perihal komitmen partai pada komitmen melawan korupsi dan SARA, siap menindak kadernya lebih dulu, sebelum pihak berwajib mengadili. 

"Kalau ada kader kami melakukan politik uang dan politisasi SARA, kami akan menindak dulu sebelum ditindak oleh penegak hukum. Karena kami punya pakta integritas untuk para kader kami," ujar kader partai yang dipimpin mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu.

Deklarasi komitmen pencegahan politik uang dan SARA terakhir dilakukan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Moderator meminta komitmen dari partai yang tidak lolos sebagai peserta Pilpres 2019 itu, untuk memberangus politik uang dan SARA pada Pilkada.

"PKPI berkomitmen lawan politik SARA dan uang. Lebih baik kader kami kalah dengan terhormat daripada menang dengan tidak terhormat," ujar kader PKPI.

Ketua Bawaslu Abhan sebelumnya mengatakan beberapa wilayah telah teridentifikasi sebagai daerah yang rawan politik uang dan SARA, menyambut Pilkada serentak pada Juli 2018.

Abhan juga menyebut politik uang dan SARA adalah benih dari korupsi dan terlambatnya pembangunan di suatu daerah. Di sisi lain, banyak petahana yang maju kembali pada Pilkada 2018 dianggap beberapa pihak rawan dalam penyalahgunaan APBD untuk kegiatan kampanye dan politik uang lainnya.

1. Titik rawan politik uang saat pilkada

Melawan Politik Uang di Tengah Mahalnya Biaya PolitikIDN Times/Sukma Shakti

Deputi Indonesia Budget Center (IBC) Ibeth Koesrini menyebut ada 220 petahana yang siap bertarung pada Pilkada 2018. Ada juga dari kalangan DPR/DPRD sebanyak 176 orang, PNS 155 orang, dan dari kalangan TNI/Polri l7 orang, serta dari swasta 528 orang. 

"Fenomena hadirnya kembali kandidat petahana dan kandidat yang memiliki relasi kekuasaan di lingkungan pemerintah pusat dan daerah, mengindikasikan semakin terbukanya pemanfaatan APBN/APBD dan berbagai fasilitas negara yang diarahkan untuk menguntungkan salah satu pasangan kandidat," kata Ibeth di kantor Bawaslu, Minggu (25/2).

Menurut Ibeth, meski pun aturan dana kampanye sudah tercantum, nyatanya belum mampu menjangkau lingkaran praktik silang korupsi yang dilakukan calon kepala daerah dan penyumbang dana. 

"Di sisi yang lain, regulasi pilkada belum cukup maksimal menutup celah penyalahgunaan anggaran dalam kompetisi pilkada. Masih lemahnya pengawasan juga jadi faktor pemanfaatan anggaran negara untuk kampanye dapat terus terjadi," kata dia. 

Regulasi yang dimaksud Rini adalah UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dalam Pasal 76 menyebutkan dana kampanye pasangan calon dapat diperoleh dari beberapa sumber.

Pertama, dari partai politik dan atau gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon. Kedua, sumbangan pasangan calon, dan ketiga surnbangan pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan atau badan hukum swasta.

Lebih lanjut, diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2017. Dalam Pasal 7 menyatakan dana kampanye yang berasal dari partai politik atau gabungan partai nilainya maksimal Rp750 juta. 

Kemudian, dana kampanye yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan nilainya maksimal Rp75 juta, dan dana kampanye yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok atau badan hukum nilainya maksimal Rp75 miliar. 

Berdasarkan hasil kajian Indonesia Budget Center (IBC), ujar Ibeth, terdapat sejumlah titik kerawanan korupsi pilkada di provinsi dan kabupaten atau kota, yang dikategorikan dalam tiga level, yaitu sangat rawan, rawan, dan sedang. 

"Pada 17 provinsi yang menyelenggarakan pilkada gubernur dan wakil gubernur, terdapat 10 provinsi dengan kategori sangat rawan yaitu Riau, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, NTB, Kalbar, Kaltim, Maluku, Papua, Maluku Utara," kata dia. 

Selain itu, Ibeth juga menyebut, ada lima daerah yang masuk kategori rawan tindak korupsi dan dua kategori sedang. "Sumsel, Jateng, Bali, NTT, dan Sulsel masuk kategori rawan, lalu Sumut dan Sulteng termasuk kategori sedang." 

"Sehingga ada 17 provinsi yang menjadi titik rawan korupsi yang perlu mendapat perhatian dari Bawaslu dan masyarakat," Ibeth melanjutkan.

Baca juga: 5 Hal Menarik Tentang Pilkada Jawa Timur

2. Petahana rentan menggunakan APBD untuk keperluan politik

Melawan Politik Uang di Tengah Mahalnya Biaya PolitikIDN Times/Sukma Shakti

Maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah, ternyata tidak terlepas dari kewenangannya sebagai penguasa di wilayah tersebut. Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006, tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dalam Pasal 5 disebutkan bahwa:

“Kepala daerah (Gurbenur/Bupati/Walikota) selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.” 

Peneliti Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran (Fitra) Gulfino Guevarto mengatakan, jika sesuai ketentuan pasal tersebut, kepala daerah atau petahana akan rentan menggunakan dana APBD untuk keperluan politik.

Gulfino menjelaskan, para petahana yang menjadi penguasa anggaran daerah, bisa dengan mudah memanfaatkan dan melibatkan beberapa pihak dalam kemenangannya. Apabila dana APBD digunakan dengan baik, tentu berdampak pada masyarakat untuk menyejahterakan. Namun, sebaliknya, apabila disalah gunakan, tentu akan menjadi persoalan.

“Bansos dan hibah ini menjadi salah satu celah, yang bisa digunakan leluasa oleh petahana,” ujar Gulfino di Bakoel Koffie, Jakarta Pusat, Rabu (21/2).

Memasuki tahun politik, kata Gulfino, dana bantuan sosial dan hibah selalu mengalami peningkatan. Hal itu bukanlah yang pertama kalinya, karena pihaknya sudah melakukan riset terkait kenaikkan dana bansos dan hibah yang naik menjelang tahun politik.

“Bansos ini selalu menjadi biang kerok, selalu bisa menjadi persoalan di tahun-tahun politik. Tujuannya jelas, untuk memerkuat mesin pemenangan dengan kucuran dari hibah dan bansos,” kata dia.

Melawan Politik Uang di Tengah Mahalnya Biaya PolitikIDN Times/Sukma Shakti

Para petahana, ujar Gulfino, biasanya sudah memiliki cara sendiri untuk menggunakan dana hibah dan bansos. Modusnya, jika mengacu pada Permendagri, dana hibah diberikan kepada lembaga atau subjek hukum yang pada dasarnya harus memiliki suatu kepengurusan dan hukum yang jelas.

Sehingga, lanjut Gulfino, petahana membuat lembaga-lembaga palsu dan fiktif, agar bisa mendapat aliran dana hibah tersebut.

“Itu pernah kami temukan misalnya pada 2015 di Banten. Kamu coba crosscheck langsung ke lapangan, bahwa lembaga-lembaga itu tidak ada. Itu yang sering terjadi,” ujar dia.

Sedangkan, untuk dana bansos yang biasanya diperuntukkan pada masyarakat menengah ke bawah, kata Gulfino, data-data masyarakat tersebut dipalsukan oleh petahana, agar dana tersebut bisa  didapatkan dengan 'aman'.

“Nah, sama juga pemberian bansos ini juga rata-rata fiktif, atau jika tidak fiktif, diberikan kepada masyarakat dengan cara potongan-potongan,” tutur dia.

Terkait manipulasi yang dilakukan petahana, Gulfino mengingatan agar Kemendagri lebih meningkatkan pengawasannya.

“Padahal sudah jelas, di dalam Permendagri Nomor 39 Tahun 2013, pemberi dana bansos dan hibah, dicantumkan oleh kepala daerah dalam lampiran 4. Itu tegas di situ. Alamatnya di mana, namanya siapa, artinya harus dicantumkan di situ,” kata dia.

Namun, menurut Gulfino, terkadang pengisian formulir tersebut hanya sebatas prioritas. Sehingga, ketika dilakukan crosscheck, ditemukan bahwa itu hanyalah manipulasi.

“Jadi relasi gelap antara petahana dan masyarakat di sini, tercipta dari penggunaan dana bansos yang disalahgunakan,” ujar dia.

3. Politik uang di Pilkada NTT

Melawan Politik Uang di Tengah Mahalnya Biaya PolitikIDN Times/Sukma Shakti

Kerawanan politik uang di NTT menjadi sorotan LSM Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Apalagi baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui operasi tangkap tangan (OTT) menangkap Bupati Ngada Marianus Sae.

Koordinator Kampanye Nasional Jatam Melky Nahar mengatakan, OTT kader PDIP itu bukan hal yang mengejutkan. Menurut dia, hampir semua pasangan calon kepala daerah di NTT memiliki catatan buruk.

Selain Marianus Sae-Emiliana Nomleni yang diusung PDIP dan PKB, ada tiga calon kepala daerah lainnya yakni Esthon Foenay-Chris Rotok (diusung Partai Gerindra, PAN, dan Partai Perindo), Benny K Harman-Benny A Litelnoni (diusung Partai Demokrat, PKS, dan PKPI), dan Viktor Bungtilu Laiskodat-Joseph Nae Soi (diusung Partai Nasdem, Golkar, dan Hanura).

Melky mencontohkan, hampir semua pasangan calon 'tutup mata' terhadap konflik yang terjadi di daerah pemilihannya masing-masing. "Semuanya orang lama. Saya mencatat hampir semua calon kepala daerah memiliki catatan buruk." 

"Mereka kerap tidak hadir pada konflik yang terjadi di dapil (daerah pemilihan) nya sendiri. Tidak hanya itu, untuk isu pertambangan, kebijakan yang dikeluarkan juga lebih sering menguntungkan investor," sambung Melky di Kedai Kopi Jatam, Jakarta Selatan, Kamis (16/2). 

Menurut kajian KPK, kata Melky, diperlukan modal Rp20 hingga Rp30 miliar untuk mencalonkan diri sebagai wali kota atau bupati. Sedangkan, untuk mencalonkan diri sebagai gubernur, diperlukan modal sekitar Rp20 hingga Rp100 miliar. 

Melawan Politik Uang di Tengah Mahalnya Biaya PolitikIDN Times/Sukma Shakti

Melky pun membandingkan angka kebutuhan menjadi kepala daerah dengan harta kekayaan yang dimiliki mereka, berdasarkan laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) yang dihimpun KPK pada 2015.

Total kekayaan yang dimiliki Esthon-Rotok sekitar Rp9 miliar. Untuk harta kekayaan milik pasangan calon Marianus-Nomleni sekitar Rp33 miliar. Kemudian Harman-Litelnoni berkisar Rp34 miliar, dan terakhir kekayaan milik Laiskodat-Soi menyentuh angka Rp80 miliar. 

"Dari empat paslon ini, hanya Laiskodat yang paling kaya. Kalau membandingkan data, akhirnya dugaan kita adalah cara mereka akan melibatkan pebisnis dalam Pilkada. Modus menggaet pebisnisnya juga sama hampir di seluruh wilayah Indonesia, misalnya obral izin, jaminan politik, dan keamanan, hingga pelonggaran kebijakan untuk membuka usaha," beber Melky.

Menurut Milky, kuatnya pemilik modal tidak bisa lepas dari sekitar 30 ribu hektare tanah yang mengalami sengketa di NTT. Bentuk perselisihannya juga bervariasi, mulai dari tidak mendapatkan izin pembebasan lahan, izin usaha, hingga penolakan dari warga setempat. 

Nilai sengketa tanah puluhan ribu hektare itu, kata Milky, senilai Rp9 triliun. "Potensinya adalah akan ada politik transaksional bagi perusahaan yang ingin membebaskan lahan tersebut. Pasti cost yang dikeluarkan akan besar, dan itu bisa saja untuk kemenangan paslon di NTT," kata dia. 

Karena itu, Melky khawatir, bukan hanya lahan untuk pertambangan yang dijadikan sebagai instrumen 'tukar guling' politik, tapi potensi pariwisata NTT juga mulai terancam diintervensi para pemilik modal.

4. Solusi jangka pendek dan panjang

Melawan Politik Uang di Tengah Mahalnya Biaya PolitikIDN Times/Sukma Shakti

Mahalnya biaya politik, regulasi, kurangnya pengawasan, hingga penggunaan dana hibah dan bansos bagi petahana menjadi sorotan dalam mencegah politik uang. Rendahnya pendidikan politik dan tingkat kesejahteraan masyarakat juga tak lepas dari masalah politik uang. 

Lantas apa saja solusinya untuk masalah politik uang yang setiap pemilu selalu saja terjadi?

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Pratama menyebutkan ada dua solusi untuk mencegah politik uang, yakni solusi jangak pendek dan panjang. Untuk jangka pendek adalah harus merevisi regulasi atau peraturan, dan solusi jangka panjang adalah pendidikan politik.

"Untuk regulasi misalnya batasan dana kampanye Rp75 juta untuk personal dan lain sebagainya. 
Untuk pendidikan politik, sebenarnya kalau dilihat dari jenis pemilih ada pemilih rasional dan tidak. Misalnya penelitian di Kulonprogo, ada tanggung jawab moral bagi pemilih, karena dia udah dikasih uang dia memilih. Ada juga yang tidak ada keterikatan, dia dikasih uang diterima, tapi belum tentu memilih," ujar Heroik saat berbincang dengan IDN Times, Kamis (1/3).

Baca juga: Ini 10 Daerah Rawan Korupsi di Pilkada 2018

Topik:

Berita Terkini Lainnya