Tragedi Hukum dan Demokrasi di Era Jokowi

Sudah tepatkah mengatakan otoritarianisme telah bangkit?

Jakarta, IDN Times - Tuntutan satu tahun pidana penjara yang diminta jaksa penuntut umum (JPU) untuk dua pelaku kejahatan terhadap Novel Baswedan kian mencoreng wajah penegakan hukum di bawah kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Novel, penyidik senior di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disiram air keras usai salat subuh di dekat rumahnya pada 11 April 2017.

Pada Desember 2019, polisi menangkap dua orang anggotanya, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, sebagai pelaku kejahatan itu. Rahmat dan Ronny adalah polisi aktif.

Novel menyoroti proses pengadilannya sebagai potret carut-marut penegakan hukum di Indonesia. Dia juga menggarisbawahi satu-satunya institusi yang bisa mengembalikan hukum pada khittah-nya adalah presiden.

“Ketika keadilan diinjak-injak, ini tergambar betapa hukum di negara kita tampak sekali compang-camping. Ini berbahaya, karena membangun penegakan hukum di suatu negara tanggung jawabnya ada di presiden,” kata Novel melalui video berdurasi 10 menit yang diunggah KPK.

“Tentunya ketika potret penegakan hukum digambarkan dengan compang-camping, sangat buruk, membuat nama bapak presiden tampak tidak baik. Saya juga mendesak bapak presiden apakah masih tetap membiarkan, apakah kemudian akan turun untuk membenahi masalah-masalah seperti ini?” cetus Novel.

Ketika kejaksaan menjadi sorotan publik, kepolisian seakan tidak mau ketinggalan. Pada Rabu (17/6) kemarin, Polres Kepulauan Sula memanggil Ismail Ahmad hanya karena mencuit guyonan almarhum Presiden Abdurrahman Wahid yang menyinggung kepolisian. Dia dituntut untuk melakukan klarifikasi di hadapan publik.

Pada hari yang sama, pegiat demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) juga dibuat geram dengan vonis 10-11 bulan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan kepada para demonstran yang terlibat dalam aksi menolak rasialisme di Papua 2019 lalu. Mereka divonis atas tuduhan makar.

Publik juga belum lupa dengan diskusi akademik bertema “Pemecatan Presiden” di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang akhirnya batal diselenggarakan karena berbagai ancaman, termasuk ancaman pembunuhan terhadap panitia pelaksana. Sikap Univeritas Indonesia (UI) yang mengkritisi para pembicara dalam diskusi bertajuk Papua yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI juga menjadi bulan-bulanan publik.

1. Nilai demokrasi Indonesia terus memburuk

Tragedi Hukum dan Demokrasi di Era Jokowiidn media

Di masa pandemik COVID-19, banyak keputusan pemerintah yang dinilai abai terhadap suara masyarakat. Lebih meresahkan lagi, serentetan kasus di atas membuat iklim demokrasi di Indonesia semakin terancam. Misalnya, banyak pakar ekonomi yang menyarankan supaya pemerintah memberikan dana bantuan sosial (bansos) secara langsung. Namun, pemerintah malah membungkusnya dengan program Kartu Prakerja yang sarat kontroversi.

Di bidang kesehatan, tidak sedikit epidemiologis atau pakar kesehatan yang menyarankan pemerintah untuk menerapkan karantina wilayah (lockdown) sesegera mungkin, supaya virus tidak menyebar ke berbagai daerah. Namun, penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) baru dilaksanakan di DKI Jakarta pada 10 April 2020, ketika sudah 3.512 orang terkonfirmasi virus corona di Indonesia dan 306 di antaranya meninggal dunia.

Survei Indikator Politik Indonesia sepanjang 16-18 Mei 2020 menunjukkan bahwa 49,5 persen masyarakat Indonesia tidak puas dengan situasi demokrasi hari ini. Angka ini merupakan yang terburuk dalam tujuh tahun terakhir dan merupakan salah satu yang terburuk dalam 16 tahun terakhir, sejak era reformasi.

Menurunnya kepuasan terhadap kinerja demokrasi, disebut oleh Burhanuddin Muhtadi, sebagai imbas pandemik COVID-19. Sebab, kepuasan terhadap kinerja demokrasi pada Februari lalu masih tinggi, yaitu 75,6 persen. Kendati ada faktor pandemik, Burhan mengingatkan bahwa angka ini pertanda agar pemerintah memberi perhatian lebih terhadap situasi demokrasi terkini.

“Ini jadi alarming, jadi bel. Pada Februari 2020, 75,6 persen yang puas, tapi sekarang kebalik. Penanganan COVID-19 yang jadi korban pertama adalah demokrasi. Baik pendukung Jokowi atau Prabowo sama-sama tidak puas dengan kinerja demokrasi,” kata Burhan selaku Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Minggu (7/6).

Jauh sebelum pandemik, berbagai lembaga internasional sudah mengingatkan tentang situasi demokrasi Indonesia yang memburuk. Catatan The Economist Intelligence Unit 2019, peringkat demokrasi demokrasi Indonesia menempati urutan ke-61 dengan nilai 6,48. Indonesia tergolong sebagai flawed democracy, artinya negara masih abai terhadap pelanggaran kebebasan sipil dan masih ada catatan negatif terhadap situasi politik dalam negeri.

Meski peringkatnya lebih baik dari sejumlah negara di Asia Tenggara, seperti Thailand (68), Singapura (75), Myanmar (122), Kamboja (124), Vietnam (136) Laos (155), patut disayangkan Indonesia tidak lebih baik dari Timor Lester (41) dan Malaysia (43), keduanya sudah tergolong sebagai full democrary.

Bagi Indonesia yang dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan negara yang kerap mempromosikan demokrasi dalam berbagai forum internasional, tentu ini adalah ironi.

Catatan Freedom House, akumulasi kebebasan sipil dan hak politik Indonesia mandek di angka 65 sepanjang periode 2015-2018. Sayangnya, pada 2019 nilainya turun menjadi 62. Catatan penting lainnya adalah Timor Leste sejak 2019 memperoleh nilai 77, padahal sepanjang 2015-2017 nilai mereka sama dengan Indonesia. 

Human Rights Watch (HRW) mengkritisi empat isu yang gagal ditangani pemerintah karena selalu memicu permasalahan setiap tahun, setidaknya untuk periode 2015-2019, yaitu kebebasan beragama, perlindungan terhadap hak asasi perempuan dan wanita, permasalahan di Papua, dan hak disabilitas.

Terkait Papua, Presiden Jokowi dan Kominfo dinyatakan bersalah oleh PTUN Jakarta karena telah membatasi internet (internet shutdown) di Papua pada Agustus-September 2019, ketika demonstrasi antirasialisme membanjiri Bumi Cendrawasih.

“Tindakan pemerintah melakukan pemblokiran internet di Papua adalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh lembaga atau pejabat negara,” kata Hakim Ketua, Nelvy Christin, ketika membaca putusan.

Putusan tersebut disambut baik oleh para penggugat yang terdiri dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Asosiasi Jurnalis Independen (AJI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), KontraS, Elsam, dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Menurut kuasa hukum SAFEnet dan AJI, Ade Wahyudin, tindakan pembatasan internet di Papua telah melanggar HAM karena membatasi akses informasi bagi warga negara.

Baca Juga: Hasil Survei Kepuasan Demokrasi di Era Jokowi Buruk

2. Demokrasi tidak akan berjalan lancar jika hukum masih compang-camping

Tragedi Hukum dan Demokrasi di Era Jokowiidn media

Pakar hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Muntoha, dalam tulisannya yang berjudul "Demokrasi dan Negara Hukum" (2009) menjelaskan bahwa demokrasi dan negara hukum adalah dua konsepsi mekanisme kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan negara. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan saling mempengaruhi. Kualitas demokrasi di suatu negara ditentukan oleh kualitas penegakan hukumnya.

Sebagai negara demokrasi, Indonesia harus menjamin peran masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai negara hukum, Indonesia harus menghendaki supremasi konstitusi sebagai wujud perjanjian sosial tertinggi.

“Perjanjian sosial berisi tujuan bersama. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara. Hukum tidak boleh diterapkan secara sepihak sesuai kepentingan penguasa, bertentangan dengan prinsip demokrasi, karena hukum tidak dimaksudkan untuk menjamin kepentingan penguasa, melainkan kepentingan bagi semua orang,” tulis Muntoha.

Dia menambahkan, “negara hukum ditopang dengan demokrasi karena terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum yang bertumpu pada konstitusi, dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Demokrasi tanpa hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sementara hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna.”

Potret penegakan hukum di Indonesia belakangan ini menjadi sorotan publik. Selain kasus Novel, masih terngiang dengan jelas bagaimana aktivis Ravio Patra diamankan oleh aparat Polda Metro Jaya tanpa surat penangkapan. Dia ditangkap setelah diduga mendalangi aksi penjarahan yang rencananya dilakukan pada akhir April 2020.

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengatakan bahwa presiden seharusnya bisa terlibat pada proses penegakan hukum hingga ranah penuntutan. Apa yang tidak bisa diintervensi oleh presiden adalah indepedensi kekuasaan kehakiman, yaitu presiden dilarang mengawasi atau memerintahkan hakim untuk memutus suatu pekara berdasarkan kehendaknya, karena itu adalah ranah yudisial.

Perempuan yang karib disapa Bibip itu mengutarakan, kuasa presiden untuk mengintervensi perkara hukum dibenarkan dalam konstitusi karena kepolisian dan kejaksaan berada langsung di bawah presiden selaku kepala pemerintahan.

“Belakangan ini argumennya (terkait kasus Novel) sering kali presiden tidak bisa mengintervensi proses hukum, ini keliru. Presiden bisa melakukan rapat terbatas dengan jaksa agung dan kepolisian, tujuannya koordinasi, untuk bilang ‘kamu harus serius loh dalam kasus ini, nama saya diperatuhkan’. Jadi tidak bisa dikatakan betul-betul totally gak boleh dibilangan (diintervensi) apa-apa,” kata Bibip saat webinar #NgobrolSeru bersama IDN Times, Selasa (16/6).

Menyangkut HAM, Bibip menegaskan, negara harusnya lebih pro-aktif untuk menjamin hak setiap warga negaranya terlindungi. “Hak (HAM) itu harus dilindungi secara aktif oleh kepala pemerintahan. Dalam wewenang ketatanegaraan, kepala pemerintahan bisa melakukan instruksi-instruksi kepada bawahannya,” sambung dia.

3. Negara harus lebih aktif dalam melindungi kebebasan berekspresi di era media sosial

Tragedi Hukum dan Demokrasi di Era JokowiIlustrasi media sosial. Sukma Shakti/IDN Times

Di era media sosial dan teknologi, David M. Howard dalam tulisannya berjudul "Can Democracy Withstand the Cyber Age?" (2017) menitikberatkan dua hal yang menentukan kualitas demokrasi, yaitu kebebasan berekspresi dan distribusi informasi.

Dosen di University of Texas School of Law itu menegaskan, demokrasi memang bukan sistem yang sempurna, tapi demokrasi menjamin setiap warga negara terlibat dalam mengambil keputusan. Lewat media sosial, proses diskusi antara warga dengan pemerintah semakin mudah dan suara minoritas juga semakin didengar.

Sayangnya, Indonesia memiliki noktah hitam pada dua hal itu. SETARA Institute 2019 mencatat, dari skala 1 sampai 7, kebebasan berekspresi mendapat nilai 1,9. Angka itu merupakan yang terendah dari 11 indikator untuk mengukur HAM di periode pertama Jokowi.

Ada 10 indikator yang digunakan untuk menilai kebebasan berekspresi. Yang paling rendah adalah penjaminan ekspresi melalui media daring dan kriminalisasi berdasarkan UU ITE, dengan nilai 1,3. Catatan ini belum termasuk kriminalisasi dan aksi kekerasan terhadap jurnalis yang belakangan semakin marak terjadi.

SAFEnet Indonesia mencatat ada 381 kasus yang menjerat warga negara dengan UU ITE sepanjang 2011-2019. Sementara, data Mahkamah Agung yang dikutip oleh SAFEnet menunjukkan, ada 508 putusan pengadilan yang menggunakan UU ITE sepanjang 2011-2018.

Satu catatan yang meresahkan mereka adalah kasus dengan UU ITE paling banyak terjadi pada 2018, yaitu 292 kasus. Bahkan lebih banyak dari total periode 2011-2017, yaitu 216 kasus. Pun kasus cuitan guyonan Gusdur oleh Ismail Ahmad yang dinilai menyinggung kepolisian, tidak kalah meresahkan.

Setelah dipanggil aparat keamanan Kepulauan Sula, Ismail mengatakan, esensi dari pemanggilan ditunjukkan kepada seluruh warga negara agar lebih bijak bermedia sosial. “Buat jadi pelajaran saya. Buat saya dan semua kalau posting itu kutip saja, saya rasa belum aman,” kata Ismail sebagaimana dikutip dari Tirto, Rabu (17/6).

Kebebasan berekspresi di masa kini turut dibayang-bayangi fenomena doxing atau pembongkaran identitas seseorang. Bahkan tidak sedikit juga yang difintah. Seseorang yang menyinggung jagoan politiknya akan diserang oleh para pembelanya. Biasanya, mereka akan menggunakan narasi Ad hominem, yaitu mengkritik individu tanpa memperhatikan substansi kritiknya.

Kasus yang belum lama terjadi adalah fitnah terhadap komika Bintang Emon. Setelah video kritiknya yang dibalut komedi viral di dunia maya, Bintang ramai-ramai diserang oleh akun anonim. Meme yang beredar di media sosial adalah Bintang dituduh menggunakan narkoba.

Menurut dosen Universitas Pembangunan Negeri (UPN) Veteran Jakarta, Sri Lestari Wahyuningroem, fenomena seperti doxing terjadi karena pembelahan sosial dan politik telah melahirkan fenomena idolatry (mengidolakan tokoh secara ekstrem).

“Ada persoalan dalam partisipasi politik di Indonesia. Ada satu kultur baru, yaitu bagaimana kita mengidolakan elite dan ini satu kultur politik yang betul-betul menguat di 2019. Dan gejala-gejala baru ini elite-elite oligarki yang membuat,” kata Sri dalam webinar yang diselenggarakan oleh YLBHI, Minggu (14/6) lalu.

Terkait distribusi informasi, Indonesia sekurangnya telah menerapkan dua kali pelambatan internet, yaitu ketika kerusuhan di Papua dan kerusuhan menolak hasil Pemilu di DKI Jakarta.

Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi AJI, Ika Ningtyas, khawatir pendekatan seperti ini akan terus dilakukan pemerintah apabila kerusuhan terulang kembali. Dalam dua kasus di atas, dalih pemerintah sama, yaitu membatasi internet agar masyarakat tidak terprovokasi dengan hoaks. Faktanya, setelah internet diperlambat, kasus tidak meredam keesokan harinya.

“Pada 2016, Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengecam negara yang melarang akses internet. Tren pemblokiran memang banyak dipakai dan Indonesia menduplikasinya. Kami melihat kebijakan ini akan terus dipakai oleh pemerintah apabila tidak ada koreksi dari masyarakat sipil,” kata Ika melalui webinar yang diselenggarakan oleh AJI, Selasa (9/6).

Penelitian bertajuk Computanial Propaganda Research yang dikeluarkan oleh Oxford University pada 2019 silam menunjukkan, ada upaya sistematis yang dilakukan oleh partai politik atau politikus menggunakan cyber troops atau buzzer untuk mempengaruhi opini publik.

Di negara otoriter, pemerintah memiliki kuasa penuh atas akses informasi, sehingga buzzer digunakan untuk membela kepentingan penguasa. Sementara, di negara demokrasi, buzzer dimanfaatkan untuk memanipulasi opini publik yang mana hal tersebut melanggar kebebasan HAM untuk berpikir.

Kehadiran buzzer atau pendengung berbahaya bagi demokrasi karena tujuan mereka adalah trending topic, sehingga informasi yang diunggah masyarakat bisa tenggelam dan diabaikan. Fungsi media sosial yang seharusnya menyuarakan kelompok minoritas malah tidak berjalan.

Lebih berbahaya lagi, menurut pengamat media sosial Ismail Fahmi, buzzer berbahaya karena mereka bisa mempengaruhi proses pengambilan keputusan ketika pemerintah berasumsi apa yang viral di media sosial merupakan apa yang diinginkan masyarakat.

Pemerintah sudah berkali-kali mengklarifikasi bila mereka tidak menggunakan jasa buzzer. Pemerintah juga sering mengingatkan agar buzzer tidak mencemari atmosfer demokrasi.

Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Fahmi menyampaikan, pernyataan pemerintah harus diimbangi kebijakan konkret. Jika tidak, maka pemerintah bisa dikatakan sebagai pihak yang mengambil keuntungan dari iklim demokrasi yang tidak sehat.

Menyambung hasil penelitian Howard, ketika negara membatasi kebebasan berekspresi dan distribusi informasi, maka korban pertamanya adalah demokrasi dan negara itu sendiri. Sebab, masyarakat tidak bisa memberikan memberikan masukan terbaiknya kepada pemerintah karena informasi yang mereka terima terbatas, atau banyak yang sudah dimanipulasi.

Baca Juga: UU ITE Menelan Banyak Korban, karena Pasal Karet atau Warga Tak Paham?

Tragedi Hukum dan Demokrasi di Era JokowiTragedi Hukum dan Demokrasi di Era Jokowi

4. Sudah tepatkah menyebut Indonesia sebagai negara otoriter?

Tragedi Hukum dan Demokrasi di Era Jokowiidn media

Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto, menganalogikan kemunduran demokrasi Indonesia seperti truk yang kesulitan menanjak sehingga turun secara perlahan.

“Artinya, kalau tidak didorong, truknya bisa jatuh kemanapun. Karena kemunduran demokrasi tidak sama dengan negara gagal atau kediktatoran, dia bisa terjebak dalam illiberal democracy atau rezim campuran,” kata Wijayanto dalam diskusi yang diselenggarakan YLBHI.

Mengutip berbagai penelitian, dosen Universitas Diponegoro (Undip) itu menjelaskan bahwa kemunduran demokrasi dimulai sejak 2016, ketika penguasa melalui pendekatan persuasif dan koersif berusaha menghapuskan oposisi. Situasi tersebut diperburuk dengan banyaknya elit politik yang mengambil keuntungan dari mobilisasi kelompok Islam.

Ada empat indikator yang digunakan oleh Wijayanto sebelum menarik kesimpulan bahwa demokrasi Indonesia memburuk kualitasnya, yaitu penegakan hukum yang lemah, pemberangusan oposisi, toleransi terhadap kekerasan, dan ancaman terhadap kebebasan sipil serta media.

“Terjadi kesepakatan di antara ilmuwan politik di dalam dan luar negeri yang menyepakati bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemunduran, dengan berbagai istilahnya, declining, authoritarian turn, sampai neootoritarianisme. Situasinya seperti ini hanya bisa kita padankan dengan Orde Baru. Bukan hanya kebebasan berpendapat (yang dibatasi), tapi juga kebebasan berpikir dan berimajinasi. Berpikir pun harus kita sensor,” kata  dia.

Sementara itu, Sri Lestari dengan tegas mengatakan bila otoritarianisme di Indonesia telah bertransformasi, ia menyebutnya sebagai otoritarianisme gaya baru (OGB). Ada beberapa tolok ukur yang ia gunakan untuk berlabuh pada kesimpulan tersebut, yaitu:

  1.  Indonesia menerapkan pemilu tapi kedaulatan tidak di tangan rakyat
  2. Ada pemisahan kekusaan eksekutif dan legislatif tapi check and balances tidak ada
  3. Ada oposisi yang perlahan diberangus
  4. Pembangunan digalakkan tapi tidak ada penghormatan HAM
  5. Hukum berlaku tapi untuk melindungi penguasa
  6. Ada ruang berekspresi tapi kriminalisasi sering terjadi
  7. Ada elemen progresif tapi juga masih dibatasi fenomena idolatry
  8. Ada emansipasi perempuan tapi dalam kerangka misogenis

“Otoritarianisme bukan sekadar adanya pemilu yang jujur dan adil. Ada juga elemen-elemen penting yang lebih kompleks untuk memeriksa kasus (perkembangan otoritarianisme di Indonesia), seperti communities, society, culture, corporation, government, armies, dan masih banyak lagi,” tambah dia.

Apa yang membuat Sri lebih resah adalah sikap negara dalam menghadapi kritik masyarakat.

“Kita sedang menilai apakah seseorang layak berpakaian atau tidak. Orang bisa aja menerima penilaian kita dengan sensi atau baper. Ada juga yang, oh gitu ya, saya akan coba perbaiki. Nah kalau menurut saya pemerintah hari ini responnya yang pertama itu, baper,” ungkap dia.

5. Istana tepis segala tuduhan otoritarianisme kepada Jokowi

Tragedi Hukum dan Demokrasi di Era JokowiPeninjauan Kesiapan Penerapan Prosedur Standar New Normal di Sarana Publik, Jakarta, 26 Mei 2020 (Youtube/Sekretariat Presiden)

Staf khusus presiden, Dini Shanti Purwono, menolak bila narasi otoritarianisme disematkan kepada Jokowi. Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu membeberkan sejumlah kejadian yang merugikan presiden, seperti kesalahan pemberitaan hingga fitnah yang dialamatkan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

“Media banyak yang blunder dan memberitakan hal negatif tentang pemerintah, seringkali juga salah. Tapi ada gak hari ini media yang dibredel? Dibungkam? Ada wartawan yang ditangkap? Tidak ada kan. Kemarin 27 media salah soal putusan PTUN terkait internet di Papua. Lalu apa reaksi Presiden Jokowi? Biasa saja,” kata Dini kepada IDN Times, Senin (22/6).

Dia menambahkan, “Kalau dikatakan pemerintahan Presiden Jokowi otoriter, di mana ya otoriternya?”

Alumni Harvard Law School itu justru menegaskan bila Jokowi adalah sosok yang demokrat dan terbuka terhadap kritik. Hanya saja, dia mengingatkan bila kritik kepada pemerintah harus disampaikan sesuai aturan yang berlaku, tanpa fitnah, dan pencemaran nama baik.

“Jokowi bukan presiden yang anti kritik. Saya dengar sendiri beliau malahan kecewa karena merasa suara oposisi tidak terlalu terdengar saat ini. Beliau katakan kalau semuanya sependapat, maka demokrasi tidak berjalan dengan sehat. Beliau senang mendapat respons dan kritik dari masyarakat,” sambung dia.

Kendati begitu, Dini tidak menampik bila Indonesia memiliki permasalahan dalam kualitas penegakan hukum. Tetapi, dia berani menjamin evaluasi pemerintahan akan terus berjalan.

“Isunya tidak terlepas dari isu aparat penegak hukum,” kata Dini. “Evaluasi secara otomatis dilakukan oleh presiden kepada seluruh jajarannya dari waktu ke waktu.”

Menanggapi perkara hukum yang sedang terjadi, seperti kasus Ravio, diskusi di UGM dan UI, hingga Novel Baswedan, Dini mengatakan bila presiden sudah bekerja sesuai porsinya. Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak dibenarkan untuk mengintervensi kasus hukum.

“Itu semua tidak ada intervensi sama sekali dari presiden. Presiden bahkan ingin hal-hal tersebut diusut tuntas,” tutup dia.

https://www.youtube.com/embed/urOIV8kT_L4

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya