CSSE Johns Hopkins University.
Saat ini, kondisi pandemik virus corona semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data Johns Hopkins University, virus ini sudah menyerang 2,5 juta manusia dari seluruh negara, dengan 177 ribu di antaranya meninggal dunia.
Kondisi di Indonesia juga tak kalah mencemaskan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per Rabu (22/4) pukul 12.00 WIB, jumlah kasus positif mencapai 7.135, dengan 616 orang meninggal dunia. Tidak ada satu pun provinsi di Tanah Air yang terbebas dari virus ini.
Situasi pandemik menandakan bahwa perjuangan melawan virus corona adalah pergumulan kolektif, bukan lagi pergumulan individu. Satu-satunya jalan keluar untuk menghilangkan COVID-19 dari Indonesia adalah solidaritas dan sinergi antar-umat. Perkara tersebut sudah Allah SWT ingatkan melalui firmanNya yang berbunyi:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri” (Ar-Ra’d: 11).
Melalui tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut sebagai keleluasaan yang Allah SWT berikan kepada manusia untuk mewujudkan perubahan sosial. Apa yang dimaksud perubahan sosial? Yaitu transformasi masyarakat yang sebelumnya terjajah menjadi merdeka, yang sebelumnya jahiliyah menuju kehidupan yang lebih baik, atau yang sebelumnya terpapar penyakit menuju kesehatan.
Tidak seperti tumbuhan, hewan, atau bahkan malaikat, manusia adalah makhluk yang istimewa karena memikul “amanat” yang tidak dimiliki, bahkan tidak ditawarkan, kepada makhluk lainnya. Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْاِنْسَانُ ۗ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًا
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh” (Al-Ahzab: 72).
Apa yang dimaksud amanat dalam ayat tersebut? Menurut ulama Ayatullah Murtadha Muthahhari dalam karangannya berjudul Inna ad-Din ‘inda Allah al-Islam, amanat berarti manusia diberi kebebasan dalam memilih. Kebebasan inilah yang membuat manusia merdeka namun mereka harus mempertanggungjawabkan kemerdekaan tersebut.
Apabila disederhanakan dalam sebuah contoh, pakar hukum Islam Nadirsyah Hosen sempat menulis soal bagaimana kematian adalah ketetapan dari Allah tapi bagaimana cara manusia meninggal bukanlah suatu hal yang sudah ditetapkan sejak lauhul mahfudz.
“Mati sudah pasti. Tapi penyebab & caranya kita gak tahu. Kalau kena Corona, kamu malah berpotensi mati dan menulari keluarga & kawanmu untuk mati juga. Mau?” demikian cuit lelaki yang karib disapa Gus Nadir melalui akun Twitternya pada Minggu, 22 Maret 2020.
Jika Surat Al-Ahzab ayat 72 dikaitkan dengan penggalan Surat Ar-Ra’d ayat 11, maka bisa dipahami bahwa manusia memiliki kuasa, dalam batas tertentu karena Allah juga memiliki kuasa, untuk mewujudkan suatu perubahan. Jika dikontekstualisasikan dalam pandemik COVID-19, untuk memusnahkan virus ini, maka setiap individu harus mengubah dirinya terlebih dahulu, barulah nanti Allah akan membantu mengangkat corona dari Indonesia.
Ar-Ra’d ayat 11 menggunakan kata الأنفس (al-anfus) yang berarti “sisi dalam manusia”. Menurut Quraish Shihab, “sisi dalam manusia” dalam konteks ayat ini terbagi menjadi tiga, yaitu nilai-nilai, ilmu, dan kemauan.
“Ada orang yang mau mengubah (menghilangkan) korupsi, tapi anda tidak punya pengetahuan (nilai dan keinginan), maka tidak (tidak akan bisa mewujudkannya). Allah mau mengubahnya asal anda mau mengubah yang ada di dalam dulu,” papar Quraish ketika menerangkan tafsir dari ayat tersebut pada acara Tafsir Al-Mishbah.
Adapun kata قوم (qaum) merujuk kepada “kaum atau masyarakat”, tidak hanya mereka yang muslim, tapi juga non-muslim.
“Kalau menurut ayat ini, kalau satu atau dua orang (yang mengubah sisi dalamnya) gak bisa (mengubah nasib suatu bangsa), harus mayoritas masyarakat itu yang ingin berubah, baru Allah ubah,” tambah pendiri Pusat Studi Al-Quran (PSQ) itu.
Terkait peran kolektif untuk memberangus COVID-19, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat? Menurut Ayatullah Murtadha, relasi antar-manusia tidak seperti pepohonan di tengah hutan yang mana setiap pohonnya memiliki alam dan dunianya sendiri. Kehadiran satu pohon tidak mempengaruhi kehidupan pohon lainnya.
Menurut ulama kelahiran Iran ini, masyarakat manusia menyerupai anggota tubuh yang setiap individu saling tergantung dan memiliki perannya masing-masing. Setiap pengambil kebijakan dan masyarakat bergerak dalam koridornya masing-masing atau mereka harus membenahi “sisi dalamnya” sebagai langkah awal untuk mewujudkan perubahan sosial, menuju masyarakat Indonesia yang bebas COVID-19.
Perkara optimalisasi ilmu, sebagai salah satu “sisi dalam” yang harus dibenahi, sudah sepatutnya pemerintah mendengarkan para ahli, apakah ahli medis atau ahli ekonomi. Hal ini juga Allah SWT ingatkan dalam firmanNya yang berbunyi:
فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (an-Nahl: 43).
Quraish Shihab juga menyampaikan, kata اَهْلَ الذِّكْرِ (ahl adz-Dzikr) bisa diartikan sebagai orang-orang yang memumpuni, ahli, atau memiliki pengetahuan akan sesuatu. Kita diperintahkan untuk bertanya kepada siapa pun yang lebih paham terkait hukum suatu perkara.
Dalam kasus corona, sebagaimana sudah disinggung di atas, sudah sepatutnya pemerintah mendengarkan masukan dari para ahli, apakah itu ahli ekonomi atau medis.
Pertanyaannya, apakah para pemangku kepentingan sudah mengambil keputusan berdasarkan rekomendasi para ahli?
Sejak COVID-19 melanda banyak negara, para ahli medis sudah mengingatkan pemerintah tentang bahaya virus ini. Ilmuwan Institut Teknologi Bandung (ITB) sudah membuat model perhitungan kasus positif corona jika peran pemerintah tidak optimal. Sejumlah organisasi dokter juga menyarankan pemerintah segera memperbanyak alat tes Polymerase Chain Reaction (PCR), bukan memperbanyak alat rapid test.
Pada bidang ekonomi, ilmuwan Universitas Indonesia (UI) dan banyak peneliti independen menyarankan pemerintah memberikan bantuan tunai alih-alih membungkusnya dalam kemasan Kartu Prakerja.
Jika melihat kebijakan yang hari ini diambil pemerintah, bisa dikatakan belum semuanya saran dari para ahli telah diakomodir. Sekalipun sudah diakomodir, apakah benar kebijakan yang dihasilkan sudah berlandaskan prinsip atau nilai-nilai kemanusiaan? Di sinilah aspek kemauan pemerintah juga diuji.
Kemudian, apa yang harus dilakukan oleh masyarakat? Sama seperti anjuran untuk bertakwa, setiap masyarakat memiliki caranya masing-masing dalam upaya memutus rantai penyebaran COVID-19. Allah SWT berfirman:
فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا وَاَنْفِقُوْا خَيْرًا لِّاَنْفُسِكُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu” (at-Taghabun: 64).
Di tengah pandemik ini, banyak gerakan sosial yang melibatkan masyarakat. Bagi mereka yang memiliki kecukupan harta, maka sangat dianjurkan untuk menginfakkan hartanya kepada mereka yang terdampak atau kepada para tenaga medis, sebagaimana anjuran ayat di atas. Bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan harta, setidaknya menuruti saran para ahli dengan berdiam diri di rumah.
“Intinya adalah ikuti saran ahli medis, physical distancing, jaga jarak aman, jangan salaman, jangan cipika-cipiki. Ini yang disarankan oleh para ahli,” tambah Oman.
Poin yang tidak kalah penting adalah lakukan mulai diri kamu sendiri.
Sebagaimana Quraish Shihab menjelaskan, “memang boleh saja perubahan bermula dari seseorang, yang ketika ia melontarkan dan menyebarluaskan ide-idenya, diterima dan menggelinding ke masyarakat. Di sini bermula dari pribadi dan berakhir pada masyarakat.”