Jakarta, IDN Times - Sudah tiga pekan banjir merendam tiga provinsi di Sumatra di penghujung 2025. Mengutip data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Minggu (14/12/2025), jumlah korban meninggal dunia telah menembus angka 1.016 jiwa dan jutaan warga kehilangan tempat tinggal.
Banjir bandang dan tanah longsor ini sempat diremehkan oleh para pemangku kepentingan. Terbukti Kepala BNPB Letnan Jenderal Suharyanto menyebut situasi mencekam hanya terlihat dari media sosial. Realita di lapangan tidak demikian. Beberapa hari kemudian, Suharyanto meminta maaf karena ia mendapat informasi yang tidak akurat soal kondisi di Sumatra.
Permintaan maaf akhirnya juga disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto di kunjungan ketiganya meninjau lokasi bencana di Aceh. Prabowo bahkan menyebut tak punya tongkat Nabi Musa untuk mempercepat pemulihan bencana.
Meski begitu, Prabowo tak juga menetapkan banjir dan tanah longsor di Sumatra sebagai bencana nasional. Warga di lokasi bencana pun tak habis pikir dengan kebijakan itu.
Dalam pandangan Kepala Kampanye Global untuk Hutan Indonesia dari Greenpeace, Kiki Taufik, salah satu alasan pemerintah tak juga menetapkan status bencana nasional terkait minimnya anggaran. Ia pun mengusulkan agar ada pengalihan anggaran dari program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).
"Salah satu goodwill dari pemerintah yang bisa dilakukan dengan memberikan budget yang lebih besar kepada BMKG, karena mereka yang akan menyampaikan peringatan," ujar Kiki ketika berbicara di program 'Ngobrol Seru' by IDN Times dan tayang di YouTube.
Ia juga menggarisbawahi banjir dan tanah longsor di Sumatra bukan semata-semata disebabkan Siklon Senyar. Tetapi, karena tutupan hutan alami di Sumatra tersisa 13 persen. Alhasil, tiap ada hujan dalam curah tinggi, Sumatra berpotensi dihantam banjir.
Berikut wawancara IDN Times dengan Kiki beberapa waktu lalu.
