Ilustrasi Bom (Teroris) (IDN Times/Mardya Shakti)
Kita melihat perkembangan aksi teroris 20-an tahun terakhir, dan sampai pada kesimpulan, ancaman terorisme real. Aksi-aksi teror di Indonesia nyata, kemarin saya sudah menyampaikan bahwa hasil kajian Lab45, tercatat 552 serangan teror (2000-2021), sekarang menjadi 553 dengan kejadian serangan baru di Mabes Polri. Sebagian besar berhasil dibongkar oleh kepolisian antara lain juga melalui mekanisme pengadilan yang terbuka.
Terorisme merupakan kejahatan yang dibentuk melalui sebuah proses. Aksi bom bunuh diri dan aksi terorisme lainnya dilakukan dalam proses ideologisasi yang bertahap, sehingga pelaku yakin dan percaya melakukan aksi terorisme tersebut. Sikap intoleransi menjadi benih-benih awal yang membawa kecenderungan pada lahirnya radikalisme, ekstremisme kekerasan, dan terkadang mengarah pada aksi terorisme.
Hal ini juga dikuatkan melalui beberapa kajian panjang dan penelitian yang dilakukan lembaga penelitian terkemuka seperti LIPI, perguruan tinggi, maupun yang dilakukan oleh organisasi masyarakat menunjukkan, bahwa sikap intoleransi dan radikalisme terlihat menguat di sebagian kelompok masyarakat dan instansi pemerintah. Bahkan, hasil survei Alvara Research Center pada 2017 menyebutkan terdapat 19,4 persen aparatur sipil negara (ASN) yang tidak setuju dengan ideologi Pancasila.
Bukan hanya itu, bahkan sikap intoleran dan radikalisme di kalangan generasi muda, termasuk siswa sekolah menengah atas (SMA) juga memprihatinkan. Berbagai survei sejak 2011 menemukan potensi intoleransi dan radikalisme yang semakin meningkat di kalangan remaja dan siswa SMA.
Di antaranya, survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP, 2011), Setara Institute (2015), Kemendiknas (2016), Paramadina (2017), Alvara Research Center (2017), PPIM UIN Syarif Hidayatullah (2018), dan Lembaga Survei Indonesia (LSI, 2018), yang menunjukkan semakin meningkatnya potensi radikalisme di kalangan generasi muda. Indonesia tidak sendiri. Ini fenomena global yang perlu terus menerus kita antisipasi bersama. Pemerintah gak bisa sendirian.
Jika melihat jumlah aksi-aksi kekerasan yang terjadi 2000-an terakhir ini, sebenarnya sel-sel teroris ini tidak mati, ini sel-sel tidur, yang hanya menunggu momentum kapan aksi kekerasan diledakkan. Coba kita lihat aksi lima tahun terakhir ini, itu berselang tak lebih dari dua tahun dari aksi bom bunuh diri serupa yang terjadi di Polrestabes Medan November 2019 lalu. Dan berselang tiga tahun dari tiga bom yang meledak di tiga gereja di Surabaya pada Mei 2018 yang dilakukan oleh pasutri dan empat anak mereka.
Analisis-analisis ini kan memang harus diperdalam ya. Ini kan baru fenomena-fenomena yang kita perlu diuji lebih dalam lagi, yang penting kita tarik benang merahnya dari rentetan peristiwa ini. Kita bisa melihat bagaimana pergeseran simbol-simbol yang menjadi target aksi terror selama 20 tahun terakhir, atau 10 dan lima tahun terakhir. Bagaimana penggunaan perempuan dan anak-anak dalam aksi-aksi teror yang terjadi beberapa tahun terakhir.
Kejadian-kejadian ini begitu dekat dengan kita, dengan 'rumah' kita. Penting karenanya kita menjaga rumah kita, tetangga kita, komunitas kita untuk saling menguatkan dari ancaman pengaruh atau penyusupan ideologi terorisme. Itulah yang saya maksud bahwa pemerintah tidak bisa sendiri. Karena teroris mengetuk pintu rumah kita, unit terkecil, yaitu keluarga.