Manager Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian
Namanya klaim orang bisa klaim apa pun meski kadang dia gak rasional. Kita entitas kelembagaan negara dalam case ini ngomongin KLHK mengklaim bahwa persoalan lingkungan kaan berkurang, tapi kita gak pernah diberikan penjelasan seperti apa metode yang akan dilakukan untuk mengurangi persoalan lingkungan.
Yang kita lihat sebenarnya caranegara meganggap penyelesaian lingkungan itu dengan mekanisme keterlanjuran. Budaya hukum kita kan budaya yang mengakomodasi pelanggaran yang sudah dilakukan.
Kita tahu gak ada satu UU mana pun di Indonesia yang memberikan izin untuk perkebunan melakukan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan. Berbeda dengan pertambangan, keciali kawasan hutan konservasi.
Tapi perkebunan sama sekali gak ada, gak ada izin pinjam pakai, apa pun.
Tapi tadi dicatat BPK mencatat 2,9 juta sawit ilegal dalam kawasan hutan. Ini kan seharusnya upaya yang harus dilakukan memberikan penegakan hukum agar aktivitas yang seharusnya ilegal dan gak biole itu gak dilakukan lagi.
Jadi dalam cara berpikir korporasi ‘ya gak apa-apa itu hutan’ kita ambil dulu kayunya, kita bikin itu gak hutan lagi. Karena mereka mempelajari budaya hukum kita itu menganulir kesalahan tadi.
Artinya kalau dalam cara berpikir KLHK akan terjadi pengurangan permasalahan lingkungan tapi cara berpikirnya dengan menganulir kesalahan, maka sebenarnya secara substasi dia bukan mengurangi persoalan lingkungan tapi dia akan banyak menambah persoalan lingkungan dibantu dengan anulir hukum. Dianggap jadi jalan menyelesaikan permasalahan lingkungan.
Itu asumsi. Mungkin bisa salah. Harusnya KLHK bisa menjelaskan bagaimana cara mereka supaya persoalan lingkungan bisa berkurang, dan dia harus menjelaskan pada publik apa yang harus mereka imajinasikan bagaimana cara mereka melakukan hal-hal yang mengurangi dampak lingkungan.
Tapi kan itu gak terjadi sama sekali di Indonesia.
Campaigner Pantau Gambut, Wahyu Perdana
Permasalahannya berkurang nanti jangan ditafsirkan hutan, gambut kita, kawasan pesisir yang sehat. Saya ingin menyinggung AMDAL. Seringkali pemerintah melihat lingkungan secara parsial, kerap kali pengambilan keputusannya suke ke arah ke situ. Misalnya kalau kawasan satu dieksploitasi, sisanya tidak akan apa-apa.
Siapa saja yang boleh mengajukan keberatan itu siapa pun yang terpengaruh pada keputusan AMDAL. Ada pemerhati lingkungan hidup, bisa organisasi, akademisi, individu, tapi kemudian ada Perppu Cipta Kerja mengubah pasal 26 sehingga definisi masyarakatnya yang terdampak langsung.
Ini jadi PR, misalnya sungai Citarum, pabriknya di Jabar. Terus hanya warga Jabar yang bisa mengajukan AMDAL?
Kalau gambut di satu wilayah dipotong, sistem hidrologisnya terganggu, dampaknya kalau musim kering terganggu, kalau musim hujan kebanjiran.
Kerap kali mengatakan pemerintah mengatakan itu kan yang diuji gugatan formil, bukan materil. Proseduralnya. Kalau kita lihat satu bab sebelum amar putusan ‘pertimbangan hukum’ itu klir menyebut 2.02.5 spesifik menyebut untuk menghindari dampak lebih besar pasca diputuskan inkonstitusional bersyarat diminta menangguhkan kebijakan startegis.
Poin selanjutnya, MK mengingatkan karena banyak diajukan permohonan materil, diberikan inkonstitusional bersyarat itu untuk melakukan perbaikan substansi. Tapi kan tidak dilakukan perbaikan substansi.
Jadi tidak sinkron klaim komitmen yang berada di permukaan di dunia internasional itu. Pada saat yang sama, pemerintah Indonesia saat itu bu Menteri LHK, mengatakan pembangunan besar-besaran di era Jokowi tidak boleh berhenti atas nama deforestasi.
Jangan lupa yang habis-habisan kena deforestasi itu gambut yang banyak terdampak. Kita pemilik gambut tropis terbesar, ini berdampak pada perubahan iklim hingga 35 persen. Menjadi terlalu naif kalau sebuah kebijakan hanya dilihat prosedural.
Ketua BEM UIN Jakarta, Abid Al Akbar
Sebenarnya kita gak bosen mendengar statement seperti itu. KLHK seolah melindungi kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi karena Perppu Cipta Kerja. Bagi saya itu hanya li service aja dari KLHK agar masyarakat percaya bahwa dalam perppu Cipta Kerja itu tidak ada deforestasi.