Ada Anies Baswedan, ada konsekuensi. Anies kemarin sering dikaitkan dengan polarisasi di umat beragama. Di NasDem sendiri mengusung Pak Anies sebagai capres, adakah langkah mitigasinya? Bagaimana NasDem memandang Anies?
Itu yang menjadi tema besar Rakernas Partai NasDem. Politik kebangsaan. Kita sudah terbiasa dengan steoritipe dan stempel. Kita menganggap orang lebih pancasilais ketimbang kita. Kita menganggap lebih islamis atau agamis.
Itu sebuah proses yang dibuat sebenarnya. Pak Surya mengatakan ini adalah orang orang yang hidup di tengah kerusuhan. Kalau kita lihat ada sebuah perdebatan luar biasa antara Bung Karno dan Buya Hamka.
Ketika Bung Karno membuat pamflet Bekerja jangan hanya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dibalas sama Buya Hamka, Akar tunggang dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Proses dialog kemudian membuat orang saling kosmopolitan. Hari ini, kita hidup di era post trust, orang menganggap kebenaran apa yang dia yakini. Makanya polarisasi terjadi. Jadi siapa sih yang untung dari polarisasi ini?
Pihak yang membuatnya?
Iya. Bukan hanya pihak yang membuat.
Politik itu harus kita lihat dalam dua perspektif. Ada kompetisi dan ada kolaborasi. Ada dua hal yang saya ingin ceritakan.
Pertama, proposal Sukarno waktu sidang 1 Juni 1945. Apa proposal dia yang pertama? Yang pertama Pancasila itu adalah Kebangsaan Yang Satu. Bukan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kenapa? Indonesia itu masih to be come. Aceh sudah menjadi negara sebelum Indonesia ada. Ngayogyakarta sudah jadi negara. Kita punya banyak bangsa.
Terus ini kalau diadu itu, bubar jalanlah barangnya. Polarisasi itu keniscayaan, tapi bagaimana bersatu itu menjadi sebuah keharusan. Itu pilihan.
Kalau kita masih terjebak dalam narasi-narasi cebong kampret ya partai itu saja sudah berbeda. Dia memiliki tendensi, dia memiliki ideologi, dia memiliki basis konstituensi. Itu sebuah perbedaan yang dilagakan.
Itu sekarang hal yang sangat riskan yaitu dilagakan antara yang satu seolah sok pancasilais, yang satu sok sok agamis. Terus dibenturkan seperti itu. Yang rugi kita sendiri.
Kita ambil contoh paling dekat bagaimana Amerika terbelah dengan politik kebencian yang dikumandangkan oleh Trump, dampaknya luar biasa.
Sekarang apakah kita mau bebal? Saya katakan sekali lagi kita mau bebal atau tidak?
Kalau kita terjebak dalam narasi kadrun, cebong, kampret, kita tetap jadi bebal. NasDem melalui Pak Surya Paloh memilih tidak mau terjebak dalam itu.
Kita tidak mau menjadi manusia yang bebal. Kita tidak mau masyarakat yang menggadaikan kebangsaan yang satu itu hanya untuk kemudian fansclub-fansclub yang fandalis.
Seolah-olah dia paling benar sendiri. Memang siapa yang tidak menggunakan identitas hari ini? Kita harus melihat dia secara holistik, kita harus lihat dalam Pilkada.
Pilkada, Pileg, nanti kita bicara Pilpres. Di Jakarta hampir setiap dapil, bataknya dua. Identitasnya gila-gilaan. Siapa partainya? Periksa aja.
Di luar Jawa, piye-piye wonge dewe (gimana-gimana saudara kita sendiri). Itu kurang identitas apa? Jadi jangan kemudian memberikan steorotipe stigamatisasi ini harus dimitigasi pada seseorang. Itu unfair.
Seolah mengaku paling nasionalis, mengaku paling patriotis, tapi kemudian bekerja secara sadar dengan hal-hal yang ada. Nangis kita.
Orang bekerja pada ranah itu. Di Jakut dan Jakbar itu dua per dapil Tionghoa. Terus kita mempertahankan seperti ini? Mengaku paling nasionalis, mengaku paling patriotis tapi bekerja atas dasar? Oh jangan begitu. Itu klaim sepihak.
Kita sama-sama saja. Sama-sama bangsa Indonesia, sama-sama negara Indonesia, hand in hand bergotong royong, gak usah ada merasa paling benar sendiri. Merasa paling nasionalis, jangan.
Saya ini skripsinya politik pemekaran Sukarno. Pak Surya seorang nasionalis. Baca semua pidato-pidatonya. Jadi hal itu kemudian membuat dia seorang cosmopolitan. Nasionalisme Indonesia adalah sekaligus nasionalisme yang internasionalisme, bukan yang chauvinistik, bukan berbasiskan Jawa.
Kalau pun toh seperti itu kita pasti jadi negara Islam, 80 persen Islami. Tapi pilihannya kan republik. Bahasa mayoritas Jawa tapi pilihan bahasa Melayu yang jadi bahasa persatuan kita yang jadi Bahasa Indonesia.
Jangan sekali-sekali lupa sejarah, jangan sekali-kali merasa dirinya paling benar. Ini bahaya bagi kita. Kita hidup di daerah post trust yang benar-benar menyediakan realitasnya fragmented, bisa merasa dirinya paling benar, setiap orang bisa mengaku dirinya paling super, proses untuk kemudian untuk mencari titik tengah, mencari titik temu, mencari benang merah. Itulah political exercise.
Kalau kita tetap, apalagi ada bahasa mitigasi, mak alangkah sombongnya kita jadi orang. Itu narasi yang terlalu sombong. Menganggap kelompok lain lebih hina dari kelompok kita. Jangan. Kita hentikan narasi ini. Kita berpikir tentang kekitaan. Itulah pidato politik Pak Surya Paloh tentang politik kebangsaan kemarin di Rakernas. Ini menjadi pertanyaan, koreksi, autokritik bagi dari kita semua.
NasDem melihat Anies bukan seperti dikatakan orang-orang bisa memecah belah umat?
NasDem Pak Surya tentu memberikan penghitungan yang detail. Kami tidak mau terlibat dalam politik rendahan seperti itu, itu benar-benar sebuah kreasi saja. Mungkin diproduksi.
Pertanyaannya setiap zaman pasti ada tantangan. Siapa sih yang gak mengalami kebangkitan politik identitas? Periksa Eropa, periksa Amerika, negara-negara lain, Eropa yang begitu besar, yang begitu panjang sejarah demokrasinya, hari ini neofasisme muncul. Anti imigran di mana-mana. Kan itu yang dikampanyekan Trump, anti-imigran.
Membangun tembok pembatas antara Amerika dan Meksiko. Lihat Neonazi muncul di mana-mana, di Eropa sana. Apakah kita mau berbicara dalam kerangka seperti ini? Apakah nasionalisme seperti ini yang mau dipegang? Kan kagak.
Terus kenapa kita harus terjebak dengan cebong dan kampret? Kenapa harus berpikir mitigasi satu sama lain? Emang yang mengaku sangat pancasilais itu sangat pancasilais dalam kebijakan? Lihat the way of thinking-nya.
Jangan mengaku paling patriotis lalu menjual negara paling di depan. Kontradiksi menurut saya.