Ini fakta yang saya temui. Fakta itu kan bukan cuma angka. Kalau misalnya saya turun evaluasi ke masyarakat. Untuk tahu misalnya bahwa kehidupan mereka jadi lebih baik, saya nanya nya begini ‘Bu, kalau dulu ingin menyekolahkan anak? Ibu pakai jual kambing atau gak?’
Kalau di Jawa misalnya ‘Ibu utang sama tengkulak atau gak sebelum ada perhutanan sosial yang Ibu pegang beberapa tahun lalu?’ Jawabannya rata-rata begitu, ada jeratan utang tengkulak dan segala macam. Mereka misalnya harus mengutang ke tetangga dan jualan kambing padahal kambingnya tidak banyak untuk menyekolahkan anak paling tidak sampai SMP dan SMA.
Nah, semenjak ada perhutanan sosial, sudah tidak sekarang. ‘Kok sudah gak, bu?’ ‘Sekarang saya sudah punya ini jadi saya bisa menabung dan segala macam.’ Jadi cara mereka itu seperti itu. Kalau dulu mereka makannya sehari sekali, sekarang setelah ada perhutanan sosial ada tiga kali sehari.
Mereka bukan gaya kita yang pada saat pandemik kebingungan mencari sumber pangan, kalau mereka tidak. Nah, kebetulannya itu ada dari Kata Data. Jadi mereka itu membuat survei kalau tidak salah pada November 2020. Di situ menegaskan bahwa hadirnya HKm (Huan Kemasyarakatan) hutan desa bisa memberikan dampak signifikan untuk peningkatan pendapatan.
Jadi rata-rata itu sekitar 40 hingga 50 persen mengatakan mereka dua sampai tiga kali lipat. Dampak ekonomi: meningkatnya produksi, pendapatan, dan penyerapan. Dari Prof. Mudrajat Maruf, 2018, membuktikan dampak ekonomi program adalah meningkatnya produksi pendapatan, kemudian penyerapan tenaga kerja, terlepasnya petani dari jerat kemiskinan, kemudian mereka bisa punya rumah sendiri, punya beberapa hal, kepemilikan sepeda motor dan lain-lain.
Kalau khusus Kata Data 2020, dulunya itu kebun dan ladang di kawasan hutan merupakan sumber penghasilan sampingan, kini menjadi sumber penghasilan utama. Peningkatan pendapatan mengaku itu sebesar 98,4 persen. Pendapatan naik dua kali lipat 46 persen, pendapatan naik antara dua sampai tiga kali lipat 25,8 persen. Nah itu dari profesor peneliti UGM sama satu lagi itu survei dari Kata Data yang independen.
Itu kira-kira dan saya pikir mungkin akan terjadi hal yang sama juga untuk tahun ini. Mudah-mudahan ada survei dan penelitian yang membuktikan bahwa signifikasi penelitian sosial itu memang sangat nyata.
Di Gorontalo saya melihat bagaimana kelompok masyarakat menanam mangrove. Sedikit banyak masih ada kaitannya dengan perhutanan sosial. Misalnya melihat bagaimana kelompok-kelompok masyarakat punya daya untuk menanam mangrove dalam rehabilitasi. Di banyak tempat saya temui kebetulan untuk program pemulihan ekonomi nasional, PEN Mangrove.
Saya pikir teman-teman KLHK dan BRGM sangat cerdas. Karena gini, PEN itu secara sederhana seperti BLT. Kalau BLT biasa, itu ditaruh di kardus, ada sembako, ditaruh uang, itu kan habis ya, konsumtif. Nah, saat aku turun ke lapangan melihat program PEN Mangrove ini, itu ternyata dengan memberikan stimulus berupa bibit kepada masyarakat yang memang sudah terbiasa di mangrove itu, baik kelompok nelayan maupun wisata, dan segala macam.
Mereka mendatangkan bibit sendiri dari sekitar. Jadi per bibit mereka dihargai berapa. Di masa pandemik ini, sudah selama dua tahun. Kemudian misalnya nanti ada Hari Orang Kerja, seperti semacam kita membayar apa gitu dan itu dikeluarkan uang oleh negara. Nah, ternyata yang terjadi itu bukan konsumtif. Aku sebut produktif karena mereka mendapat ‘uang’ selama pandemik seperti halnya BLT.
Nah, uang ini kemudian bisa mereka pakai sehari-hari. Tapi, stimulusnya kan lewat mangrove ya. Menanam mangrove ini bukan menanam belaka. Ini semacam lokomotif yang karena masyarakat di sana sangat bergantung pada mangrove, kan banyak nelayan pesisir dan kelompok masyarakat yang lain, kalau tidak ada mangrove, mereka harus melaju lebih jauh ke laut untuk cari ikan.
Kalau mangrove nya bagus, tempat berpijaknya bagus, mereka lebih dekat ke laut. Selain itu, ekowisatanya juga berkembang. Kalau mangrove nya bagus, ada berbagai macam hasil turunan dari situ. Ada juga sirup mangrove yang bisa diusahakan oleh ibu-ibu. Nah, bibit mangrove inilah yang kemudian menjadi stimulus dan oleh masyarakat karena kelembagaannya lebih kuat, itu diteruskan.
Jadi sebenarnya tidak usah terlalu bayar biaya perawatan pasti mereka bayar. Nah, PEN Mangrove ini pintar karena tidak sekadar tanam bibit, tetapi terusan-terusannya, dampaknya itu bibit dipelihara oleh masyarakat. Bahkan, masyarakat selain di Papua dan di banyak tempat saling bertukar ilmu. Penguatan gender perempuan ada di situ dan di banyak tempat.
Kemudian secara sosial juga mereka lebih kompak. Misalnya tercatat yang ikut PEN Mangrove itu 50 kepala keluarga. Tapi, ternyata di banyak tempat, sekampung yang ikutan, bahkan ada yang pakai upacara adat. Sesudahnya mangrove itu diharapkan mereka pelihara dan berdampak ekologis, sosial, dan ekonomi. Jadi cerdasnya di situ. PEN Mangrove mendorong banyak aspek.