[WANSUS] Penggugat Jokowi: Kami Tak Takut Presiden di Kasus Karhutla

Jakarta, IDN Times - "Kami tidak takut, yang kami takutkan saat itu adalah kalah," ujar Arie Rompas, salah satu penggugat pemerintahan Joko "Jokowi" Widodo terkait kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di Kalimantan empat tahun silam. Arie mencoba menceritakan kembali ketika asap mengepung Kalimantan pada 2015.
Kepada IDN Times, Arie menuturkan kronologi kenapa akhirnya ia bersama teman-temannya memberanikan diri melawan pemerintah di pengadilan. Arie dkk menggugat Presiden, jajaran menteri, serta gubernur daerah yang terdampak karhutla. Butuh waktu tiga tahunan hingga putusan itu divonis di tingkat kasasi.
Presiden dkk dihukum Mahkamah Agung (MA) untuk memperbaiki regulasi terkait lingkungan agar kebakaran hutan tidak kembali terjadi.
Mengenakan kemeja abu-abu dan kacamata, ia mengulas balik peristiwa kebakaran hutan di Kalimantan Tengah.
Awal 2015, kebakaran hutan melanda beberapa provinsi di Indonesia. Kabut asap pun membuat sesak warga. Pernapasan mereka terganggu. Mereka merindukan udara segar saat itu. Hingga Oktober 2015, kabut asap akibat kebakaran hutan belum juga hilang.
Korban-korban semakin banyak berjatuhan. Arie dan kawan-kawan merasa pemerintah tidak hadir saat itu. Saat itu, rasanya warga sulit bernapas, bahkan sekali pun berada dalam ruangan dengan mesin pendingin.
Kalimantan Tengah menjadi provinsi terparah terdampak kebakaran hutan dan lahan. Arie bersama teman-temannya sudah sering menyuarakan soal penanggulangan kebakaran hutan, sebelum kebakaran hutan besar melanda. Namun pemerintah seolah tidak merespons.
"Sekitar bulan-bulan April, Maret, Juli, itu sudah mulai kebakaran dan kita sudah sering teriak-teriak, termasuk sering melaporkan perusahaan-perusahaan yang melakukan pembakaran karena sejarah panjangnya itu berasal juga dari pembukaan lahan sawit," kata Arie, saat ditemui IDN Times pada Agustus lalu di Jakarta.
Kegelisahan itu akhirnya menggerakkan Arie dan teman-temannya untuk menggugat Presiden dan pembantunya. Bukan untuk mencari sensasi, uang, atau alasan politik. Mereka hanya ingin hak mereka mendapatkan udara bersih di Kalimantan, khususnya, dan menjamin kejadian itu tak sampai terulang lagi.
Menolak lupa kebakaran hutan dan lahan 2015, inilah perjalanan Arie dan teman-teman melawan pemerintah di pengadilan.
1. Perjuangan Arie dan teman-temannya mengevakuasi warga, menyiapkan gugatan hukum, hingga dituduh menculik warga
Di Kalimantan Tengah, khususnya Palangkaraya, menjadi wilayah yang rentan dengan kebakaran hutan dan lahan. Pasca-kebakaran hutan dan lahan besar pada 1997, pada era pemerintahan Presiden Soeharto, hampir setiap tahun selalu terjadi kebakaran hutan dan lahan.
Hingga memasuki 2015, Arie dan masyarakat Kalimantan sudah mengetahui akan terjadi kemarau panjang saat itu. Tetapi tak ada antisipasi dari pemerintah. Sekitar April, kebakaran hutan di Kalimantan mulai terjadi.
Arie dan masyarakat Kalimantan pun kerap berteriak kepada pemerintah untuk penanganan kebakaran hutan dan lahan, namun tak ada respons. Mereka juga sering melaporkan perusahaan-perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan, tapi pemerintah lagi-lagi seakan tutup telinga.
Arie yang merupakan aktivitis lingkungan, bersama keenam temannya, Kartika Sari, Fatkhurrohman, Afandi, Herlina, Nordin, dan Mariaty, akhirnya memutuskan menggugat Jokowi dan beberapa menterinya serta kepala daerah terkait ke Pengadilan Negeri Palangkaraya melalui proses hukum citizen lawsuit.
Gugatan Arie dan kawan-kawan dilayangkan kepada Presiden Jokowi dan jajaran menteri. Antara lain Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, Menteri Kesehatan Nila Moeloek. Mereka juga menggugat Gubernur Kalimantan Tengah dan Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah.
"Diproses itu (hendak menggugat), sangat crowded sekali ya, karena kami harus bekerja, asapnya banyak. Kemudian kami punya inisiatif, saya Direktur Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Kalteng (saat itu), kemudian kami ketemu sama kawan-kawan dan kita harus duduk melakukan sesuatu," ucap dia.
Kemudian mereka membentuk emergency respons karena pemerintah dianggap tidak hadir saat itu, dengan membentuk gerakan anti-asap. Gerakan ini terdiri dari lembaga-lembaga dan individu yang memang bersedia secara sukarela melakukan upaya advokasi kebakaran hutan dan lahan.
Saat itu, dengan kondisi asap yang masih mengepung Kalimantan Tengah, Arie dan teman-temannya mulai melakukan evakuasi, membentuk posko, membagikan masker, dan membuka bantuan kesehatan bagi masyarakat yang menjadi korban ganasnya asap kebakaran.
Sembari membantu mengevakuasi warga yang terdampak kebakaran hutan dan lahan, Arie dan teman-temannya tetap mencari solusi agar pemerintah bisa mendengarkan mereka. Akhirnya, mereka memutuskan melakukan langkah hukum.
Ketika itu, yang ada di benak mereka adalah tiga langkah hukum yang bisa diambil, mulai dari legal standing, class action, dan citizen lawsuit. Menimbang dari ketiga langkah hukum tersebut, akhirnya Arie dan teman-temannya memilih menggugat pemerintah melalui citizen lawsuit.
“Tiga-tiganya itu kami pikirkan mana yang terbaik untuk bisa dilakukan. Proses itu kemudian kami memilih ‘oke kita coba dengan citizen lawsuit’. Walau pun ini baru, tantangannya tinggi, kita akan coba karena kami lihat memang situasi 2015 itu pemerintah memang tidak ada, atau mengabaikan hak-hak kami sebagai warga negara untuk hidup sehat dan mendapatkan udara yang bersih,” papar Arie.
Setelah memberanikan diri menggugat pemerintah demi mendapatkan hak-hak mereka, Arie dan teman-temannya kemudian menyusun gugatan-gugatan yang akan diajukan ke pengadilan. Namun tidak mudah.
Di sisi lain, mereka harus menyiapkan materi-materi gugatan, di sisi lainnya, mereka harus mengevakuasi warga. Bahkan, niat baik mereka untuk mengevakuasi warga malah memunculkan tudingan bahwa mereka melakukan evakuasi ilegal hingga dituduh melakukan penculikan.
“Kami sempat evakuasi orang itu di Banjarmasin dan kemudian dituduh menculik orang, karena evakuasi itu menurut pemerintah hanya bisa dilakukan oleh pemerintah. Ilegal. Karena kami pikir pemerintah gak melakukan apa-apa, kenapa kita tidak? Sementara situasi menjadi sangat sulit. Supaya itu yang menjadi trigger kepada pemerintah, supaya berbuat sesuatu,” kenangnya sembari duduk menghadap laptopnya.