Instagram Stories tentu tak bisa menjadi satu-satunya tolok ukur popularitas perpustakaan di kalangan anak muda. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mendatangi tiga perpustakaan umum di Surabaya. Dua adalah perpustakaan umum milik Pemerintah Kota Surabaya, satu lagi di bawah Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Di perpustakaan umum Rungkut yang diurus oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Surabaya, aku menemukan kondisi yang memang tidak ramah. Bukan hanya tempat parkir yang sangat terbatas, tapi juga desain bangunan, fasilitas serta penataan buku yang tidak menarik sama sekali.
Saat aku datang, hanya enam pengunjung yang berada di ruangan yang tak terlalu besar itu. Aku terkejut saat melihat buku-buku yang tak diletakkan di lemari dibiarkan begitu saja menumpuk tidak beraturan baik di lantai maupun di meja.
Aku mendatangi tiga orang pelajar sekolah menengah pertama yang duduk di salah satu sudut. Ketiganya adalah Najwa, Safina dan Cindy. Mereka memilih sisi ruangan itu karena pendingin udara. Saat aku bertanya apa sering ke perpustakaan itu, mereka serentak menjawab tidak.
"Aku gak suka ke perpustakaan karena ngebosenin, terus WIFI gak kencang. AC yang paling dingin cuma satu. Kadang-kadang tempat dekat AC sudah dipakai, kita terpaksa pakai tempat yang panas," kata Najwa yang mengaku berada di perpustakaan karena menunggu dijemput setelah sekolah.
"Kalau aku kurang suka soalnya koleksi bukunya yang gak update. Lalu, ruangannya bau buku usang," celetuk Cindy. Sementara Safina berkata ia beberapa kali datang ke perpustakaan untuk menggambar, meski tak dipungkiri ia juga ingin meminjam novel-novel remaja yang sedang populer.
"Sebenarnya saya suka baca buku, apalagi kalau novel-novel remaja seperti Dilan dan Milea. Tapi kalau suasanya sudah gini, sudah gak minat, maunya cuma duduk-duduk. Seharusnya koleksi bukunya di-upgrade. Buku yang lama disumbangkan atau apa, diganti yang baru," usulnya.
Apa yang mereka keluhkan ada benarnya. Ruangan perpustakaan memang pengap. Tidak ada display untuk memamerkan buku-buku baru. Aku pun meminta bertemu dengan pengelola yang bertanggung jawab untuk wawancara. Namun, aku ditolak karena tidak mengantongi izin dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol).
Perpustakaan milik Provinsi Jawa Timur bernasib lebih baik. Meski letaknya tidak terlalu strategis, tapi pemustakanya jauh lebih banyak. Ruangan dan fasilitas juga lebih memadai. Saat aku berkeliling untuk melakukan observasi, aku melihat seorang pemuda fokus menjelajahi salah satu rak buku.
Namanya Chabib. Mahasiswa di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Fithrah itu pergi ke perpustakaan tersebut sebanyak dua sampai tiga kali sebulan. Salah satu alasannya adalah karena kampusnya belum memiliki perpustakaan sendiri.
"Ke sini untuk mengerjakan makalah atau mencari buku referensi karena disuruh dosen membaca," ucapnya. Menurut Chabib, meminjam buku tentu lebih murah daripada membeli. Sayangnya, tak semua buku yang ia cari bisa ditemukan di perpustakaan.
Ia juga mengaku lebih suka mengerjakan tugas atau membaca di kafe. "Perpustakaan itu tempatnya tidak ada taman agar orang bisa baca buku dengan rileks, dengan nyaman. Lalu, koneksi WIFI tak maksimal. Kalau di perpustakaan monoton, tertekan dengan buku-buku, jadi lebih suka di kafe."
Sementara itu, perpustakaan umum di Balai Pemuda barangkali adalah yang terbaik. Pengunjung bisa duduk di sofa atau di lantai yang dilapisi karpet. Lokasinya lebih strategis, pencahayaannya juga lebih diperhatikan serta ada ruang audio visual yang cukup jadi favorit pengunjung.
Namun, sekali lagi, masalah koneksi internet dan koleksi buku baru masih juga dialami oleh para pemustaka. "Ini perpustakaan yang dekat dengan kampus. Niatnya cari bacaan baru dan internet tanpa harus bayar, eh malah bikin emosi," kata Tari, mahasiswi Universitas Airlangga, yang tak bersedia diambil fotonya.