Djarot: Jadi Kades Bisa Keluar Rp1 M, Biaya Politik Mahal Kebablasan

Politik uang jadi masalah klasik pemilu

Jakarta, IDN Times - Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Djarot Saiful Hidayat, mempertimbangkan kajian sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) asimetris, dan pemilihan umum (pemilu) proporsional tertutup. Sistem itu dipertimbangkan lantaran dinilai bisa menekan politik uang pada pemilu hingga tindak korupsi.

Djarot mengatakan, biaya politik mahal hingga berpotensi terjadinya politik uang merupakan konsekuensi dari sistem demokrasi Indonesia, yang belakangan mengarah ke liberal dan individualistik.

"Sekarang coba kita hitung biaya yang dikeluarkan oleh kandidat, itu pasti konsekuensi dari demokrasi liberal kita, maka dari pada itu kita tadi bagus sekali Pak Hasyim Asy'ari (Ketua KPU RI) menyampaikan 'kita harus berani balik ke sistem pemilu yang proporsional, yang murni atau tertutup'," ujar dia usai menyerahkan hasil kajian tentang Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dan visi misi presiden dan kepala daerah Pemilu 2024 ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) di kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Rabu (21/9/2022).

Baca Juga: Temui Panglima TNI, Bawaslu Minta Dukungan Intelijen Awasi Pemilu 2024

1. Djarot kisahkan pengalamannya saat pemilihan tidak langsung

Djarot: Jadi Kades Bisa Keluar Rp1 M, Biaya Politik Mahal KebablasanPimpinan Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat bersama Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Djarot menuturkan, biaya politik sekarang ini luar biasa mahal. Berdasarkan pengalamannya, pemilihan secara tidak langsung bisa menekan biaya tersebut. Kemudian, bila dibandingkan dengan kondisi menggunakan sistem saat ini, biaya menjadi kepala desa saja bisa mencapai Rp1 miliar.

"Sekarang ini sudah luar biasa kebablasan, sudah luar biasa kalau terjadi. Saya mengalami pemilihan secara tidak langsung melalui DPRD, ketika Walkot Blitar 2000 dan pemilihan secara langsung 2005. Pada saat pemilihan dengan DPRD itu biaya yang kita keluarkan tidak sampai puluhan juta, kenapa? Karena hanya untuk syukuran, kira-kira Rp15 juta," kata dia.

"Tahun 2005 karena saya sudah terpilih itu biayanya juga masih bisa, karena saya incumbent, tidak sampai Rp200 juta, yang kata orang-orang itu kecil sekali. Tapi sekarang untuk jadi kepala desa biayanya bisa sampai Rp500 juta atau Rp1 M (miliar) lebih," sambung Djarot.

Baca Juga: Mega Usul Nomor Peserta Pemilu Tak Diubah, Ini Penjelasan Komisi II 

2. Demokrasi bertujuan untuk sejahterakan rakyat

Djarot: Jadi Kades Bisa Keluar Rp1 M, Biaya Politik Mahal KebablasanIlustrasi kampanye (IDN Times/Galih Persiana)

Djarot lantas mengimbau supaya menganggap demokrasi sebagai tujuan, dan alat untuk mengabdi kepada masyarakat supaya mencapai keadilan dan kemakmuran.

"Sekarang, pertanyaan saya, demokrasi sebagai tujuan atau sebagai alat? Demokrasi itu alat, sarana, tujuannya adalah bagaimana kita bisa membangun dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, kan itu tujuannya," tutur dia.

Baca Juga: Datang ke KPU, MPR Tegaskan Tak Pernah Dorong Presiden Tiga Periode

3. Politik uang jadi masalah klasik pemilu

Djarot: Jadi Kades Bisa Keluar Rp1 M, Biaya Politik Mahal KebablasanIDN Times/Istimewa

Pada kesempatan lain, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, menilai Pemilu serentak 2024 jadi agenda elektoral paling besar dan rumit sepanjang sejarah. Pemilu 2024 mencakup pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan legislatif (pileg), hingga pemilihan presiden (pilpres).

"Sebagaimana kita ketahui, demokrasi dalam rangka suksesi kepemimpinan nasional dan daerah telah diputuskan. Pemungutan suara pada 14 Februari 2024 dan pilkada 27 November 2024," kata Bagja di Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 19 September 2022.

"Pemilu serentak 2024 merupakan agenda elektoral paling besar, rumit, dan kompleks sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Karena diadakan pemilu nasional dan pilkada untuk seluruh kabupaten/kota dan provinsi dalam waktu satu tahun," sambung dia.

Selain itu, kata Bagja, Bawaslu juga dihadapkan dengan berbagai persoalan klasik yang sering terjadi setiap pemilu. 

"Di antaranya, pertama adalah politik uang, mahar politik dalam pilkada, dalam pencalonan. Ketidaknetralan ASN (Aparatur Sipil Negara) dan pegawai pemerintahan, sampai politisasi birokrasi," kata dia.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya