Jokowi Curhat ke Yusril, Sebut Gibran Belum Tentu Mau Jadi Cawapres

Putusan MK jadi karpet merah Gibran ke panggung pilpres?

Jakarta, IDN Times - Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengungkap isi pembicaraannnya dengan Presiden Joko "Jokowi" Widodo, soal peluang Gibran Rakabuming Raka maju pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.

Pembicaraan keduanya terjadi jelang MK memutuskan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dalam kesempatan itu, Jokowi sempat membahas soal batas usia minimal capres dan cawapres dengan Yusril. Jokowi bertanya mengapa batas usia capres dan cawapres yang semula 35 tahun diubah menjadi 40 tahun.

Adapun, terkait batas usia sebenarnya sempat diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 yang kemudian dicabut setelah UU Nomor 42 Tahun 2008 diundangkan. Namun, dalam dua produk hukum tersebut, usia batas minimal capres dan cawapres adalah sama, yakni 35 tahun. Kemudian, melalui UU Nomor 7 Tahun 2017, ketentuan tersebut diubah. Batas usia capres dan cawapres ditetapkan paling rendah 40 tahun.

"Pak Jokowi bertanya 'kenapa Prof alasannya kok sekarang jadi 40, dulu 35?'. Ya saya bilang barangkali yang mengusulkan terinspirasi kepada Rasulullah saya bilang. Nabi Muhammad SAW, saya bilang, waktu di Gua Hira pada waktu 40 tahun diangkat jadi nabi. Terus Pak Jokowi ngakak ketawa," kata Yusril dalam diskusi Lembaga Survei KedaiKOPI di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (17/10/2023).

Yusril lantas menegaskan, dalam pembicaraan itu Jokowi memastikan tak mengintervensi gugatan di MK soal batas usia capres dan cawapres.

Jokowi juga menyebut, Gibran belum tentu mau jadi cawapres bila gugatan itu memungkinkannya maju di Pilpres 2024.

"Hanya pada waktu itu beliau mengatakan, ya biarkan saja, ini juga bukan agenda saya kok, Mas Gibran belum tentu mau (maju cawapres), jawabnya seperti itu," imbuh Yusril.

1. KPU sebut kepala daerah yang maju pilpres harus minta izin presiden

Jokowi Curhat ke Yusril, Sebut Gibran Belum Tentu Mau Jadi CawapresKantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mewajibkan kepala daerah yang ingin maju sebagai capres dan cawapres meminta izin kepada presiden.

Komisioner KPU RI, Idham Holik mengatakan, ketentuan itu sebagaimana diatur dalam Pasal 171 ayat 1 dan ayat 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Bahwa dalam hal terdapat kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang akan dicalonkan sebagai capres cawapres maka diberlakukan ketentuan Pasal 171 ayat 1 dan 4 UU 7 2017," kata Idham dalam konferensi pers di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023) malam.

"Seseorang yang sedang menjabat sebagai gubernur, wagub, bupati, wabup, walkot, wawalkot yang akan dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebagai capres cawpares harus meminta izin kepada presiden," sambung dia membacakan bunyi pasal.

Idham menuturkan, surat izin presiden kepada kepala daerah yang maju sebagai capres maupun cawapres itu menjadi dokumen persyaratan yang harus dipenuhi.

"Ayat 4 (Pasal 171 UU Pemilu), surat permintaan izin gubernur, wagub, bupati, wabup, walkot, wawalkot sebagaimana dimaksud ayat 1 disampaikan kepada KPU oleh parpol atau gabungan parpol sebagai dokumen persyaratan capres cawapres," tutur dia.

Baca Juga: Gibran Cawapres Prabowo? Gerindra: Tinggal Tunggu Keputusan Koalisi

2. Gerindra tunggu kesediaan Gibran jadi cawapres Prabowo

Jokowi Curhat ke Yusril, Sebut Gibran Belum Tentu Mau Jadi CawapresKetua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto (kanan) mengajari putra Jokowi, Gibran Rakabumi Raka (kiri) berkuda di Hambalang, Sabtu, 18 Juni 2022. (Dokumentasi Prabowo)

Sementara, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman buka suara terkait pencawapresan Gibran Rakabuming setelah adanya putusan MK.

Habiburokhman mengatakan, ada tiga hal untuk mempertimbangkan Gibran Rakabuming bisa menjadi pendamping Prabowo Subianto pada Pemilu 2024 nanti.

Pertama, regulasi yang mengatur syarat pencawapresan putra sulung Jokowi. Kedua, apakah nama Gibran dapat diterima oleh Ketua Umum Parpol Koalisi Indonesia Maju (KIM).

“Ketiga kalau yang bersangkutan berkenan. Tapi yang kedua ini satu dua hari ini Pak Prabowo musyawarah dengan para ketum baru akan memutuskan,” kata dia saat ditemui di Kertanegara IV, Jakarta Selatan, Senin (16/10/2023).

Wakil Ketua Komisi III DPR itu mengatakan, Gibran Rakabuming dapat didaftarkan sebagai bacawapres bila berkenan untuk mendampingi Prabowo Subianto.

“Kalau sudah baru akan pembicaraan dengan yang bersangkutan, apakah berkenan atau tidak. Kalau itu baru bisa didaftar,” kata Habiburokhman.

Baca Juga: Soal Isu Gibran Jadi Bacawapres Prabowo, Ganjar: Semua Orang Punya Hak

3. Saldi Isra khawatir kepercayaan publik menurun

Jokowi Curhat ke Yusril, Sebut Gibran Belum Tentu Mau Jadi CawapresWakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra (dok. Mahkamah Konstitusi)

Sebelumnya, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengaku khawatir, putusan MK yang mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal capres dan cawapres dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi MK.

Hal itu diungkapkan Saldi saat menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion).

"Saya sangat, sangat, sangat cemas dan khawatir Mahkamah justru sedang menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik dalam memutus berbagai political questions yang pada akhirnya akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap Mahkamah. Quo vadis Mahkamah Konstitusi?" ucap dia dalam ruang sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

Menurut Saldi, persyaratan usia minimum pejabat negara, termasuk syarat usia minimum sebagai calon wakil presiden dan wakil presiden, sebagaimana diajukan dalam permohonan e quo dapat dikatakan menjadi bagian dalam doktrin political question. Dengan demikian, harusnya perkara itu diselesaikan dengan keputusan yang diambil oleh cabang politik pemerintahan, dalam hal ini Presiden dan DPR selaku pembentuk undang-undang.

"Sebaliknya, permasalahan atau pertanyaan tersebut seyogianya ditangani oleh cabang kekuasaan yang berwenang, seperti eksekutif atau legislatif," tutur dia.

Saldi menuturkan, MK seringkali memberikan pertimbangan opened legal policy terhadap permasalahan yang tidak diatur secara eksplisit di dalam konstitusi, sehingga sepenuhnya diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukannya, dan bukan diputuskan oleh MK.

Oleh sebab itu, dalam perkara mengenai batas usia capres dan cawapres tersebut, MK seharusnya berpegang teguh pada opened legal policy.

Dalam permohonan a quo, Mahkamah juga sudah seharusnya menerapkan judicial restraint dengan menahan diri untuk tidak masuk dalam kewenangan pembentuk UU dalam menentukan persyaratan batas usia minimum bagi calon wakil presiden dan wakil presiden.

"Hal ini sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan penghormatan kepada pembentuk undang-undang dalam konteks pemisahan kekuasaan negara," ucap dia.

"Sayangnya, hal yang sederhana dan sudah terlihat dengan jelas sifat opened legal policy-nya ini, justru diambil alih dan dijadikan beban politik Mahkamah untuk memutusnya," lanjut Saldi.

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya