Jakarta, IDN Times - Satu tahun yang lalu, 1 Februari 2021, junta militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil yang dipimpin Presiden Win Myint dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi. Kedua pemimpin dari partai Liga Nasional Demokrasi (NLD) itu kemudian ditetapkan sebagai tahanan rumah.
Aksi inkonstitusional tersebut menuai kecaman dari masyarakat dalam dan luar negeri. Warga Myanmar memadati jalan sebagai bentuk penolakan terhadap rezim militer. Mereka tidak ingin kembali masa-masa kelam abad 20, ketika negara dipimpin jenderal bersenjata.
Komunitas internasional merespons kudeta itu dengan berbagai bentuk, mulai dari menjatuhkan sanksi hingga tidak mengakui pemerintahan di bawah rezim militer. Masyarakat dunia semakin menyoroti kudeta Myanmar saat korban nyawa pertama jatuh, perempuan berusia 18 tahun bernama Ma Kyal Sin. Dia tewas karena timah besi bersarang di kepalanya.
Alih-alih meredam demonstrasi, kematian perempuan yang menggeluti olahraga taekwondo itu ternyata menghidupkan spirit perjuangan masyarakat Myanmar. Demonstrasi diikuti lintas generasi, profesi, bahkan lintas etnis dan agama.
Faktanya, setahun setelah kudeta, krisis di Myanmar tak berkesudahan. Kondisi kemanusiaan di negara itu semakin buruk sebab krisis ekonomi dan kesehatan yang dipicu pandemik COVID-19.
Jika pada periode awal kudeta diwarnai dengan unjuk rasa masyarakat sipil, kini penolakan diwarnai dengan adu kekuatan antara etnis bersenjata dan pemerintah bayangan Myanmar dengan junta. Tak ayal banyak pihak mengatakan Myanmar berada di ujung perang sipil.
Berikut IDN Times rangkum fakta-fakta seputar kudeta Myanmar.