Ilustrasi penangkapan. (Pexels.com/Kindel Media)
Dilansir CNN, Kayishema awalnya menyangkal identitasnya saat ditangkap, tapi di pengujung malam dia mengaku dan mengatakan sudah lama menunggu untuk ditangkap. Penyelidik mengatakan dia menggunakan banyak identitas dan memalsukan dokumen untuk menghindari deteksi.
"Penangkapan itu merupakan puncak dari penyelidikan yang intens, menyeluruh, dan teliti. Anggota keluarga dan rekan yang dikenal diselidiki secara mendalam. Hal itu pada akhirnya mengarah pada identifikasi lokasi yang tepat untuk mencari dan menemukan kecerdasan kritis yang dibutuhkan," kata seorang pejabat senior di kantor kejaksaan yang terlibat dalam kasus tersebut.
Serge Brammertz, kepala penuntut dari Mekanisme Residual Internasional PBB untuk Pengadilan Pidana (IRMCT), mengatakan penangkapan Fulgence Kayishema memastikan bahwa dia akhirnya diadili atas dugaan kejahatannya, setelah buronan selama lebih dari 20 tahun.
“Genosida adalah kejahatan paling serius yang diketahui umat manusia. Komunitas internasional telah berkomitmen untuk memastikan bahwa para pelakunya akan diadili dan dihukum. Penangkapan ini adalah bukti nyata bahwa komitmen ini tidak luntur dan keadilan akan ditegakkan, tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan,” tambah Brammertz.
Kayishema meninggalkan Rwanda pada akhir genosida pada Juli 1994, melarikan diri ke Republik Demokratik Kongo bersama istri, anak, dan saudara iparnya. Setelah itu pindah ke negara Afrika lainnya, yang kemudian pindah ke Afrika Selatan pada 1999 dan meminta suaka di Cape Town, dengan menggunakan nama palsu.