TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Serangan Teroris Mali Tewaskan 49 Warga dan 15 Tentara

Militer membunuh 50 militan

ilustrasi tentara (unsplash.com/Pawel Janiak)

Jakarta, IDN Times - Sedikitnya 49 warga sipil dan 15 tentara tewas dalam dua serangan terpisah yang dilancarkan oleh militan di bagian utara Mali pada Kamis (7/9/2023). Merespons kejadian tersebut, tentara berhasil membunuh sekitar 50 penyerang.

Menurut pernyataan militer, serangan itu menargetkan sebuah penumpang di dekat kota Timbuktu di sungai Niger dan instalasi militer Mali di Bamba, bagian dari wilayah Gao. Pihaknya menuding serangan tersebut didalangi oleh JNIM, kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan al-Qaeda, dilansir Al Jazeera.

Pemerintah sementara Mali telah mengumumkan tiga hari berkabung nasional mulai Jumat (8/9/2023) untuk menghormati warga sipil dan tentara yang tewas dalam serangan tersebut.

Sejak kudeta tahun 2021, Mali untuk sementara dipimpin oleh Kolonel Assimi Goita.

Baca Juga: Inggris Buru Teroris yang Kabur dari Penjara Pakai Truk Makanan

1. Warga Timbuktu menderita akibat blokade oleh militan

Wilayah Sahel, yang merupakan bagian dari Mali, telah mengalami peningkatan kekerasan selama dekade terakhir, termasuk dari kelompok yang berafiliasi dengan al-Qaeda dan ISIS.

Sejak sekitar 13 Agustus, afiliasi lokal al-Qaeda, yang dikenal sebagai Kelompok Dukungan Islam dan Muslim atau JMIN, telah mengorganisir blokade di sekitar kota bersejarah Timbuktu di Mali, di sebelah timur tempat serangan hari Kamis terjadi.

Blokade tersebut mengakibatkan lebih dari 35 ribu warga Timbuktu menderita kerawanan pangan dan harga kebutuhan dasar pun melonjak naik. Selain itu, bantuan kemanusiaan juga telah terhenti.

2. Pemberontak merebut lebih banyak wilayah

Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan lalu, para pemberontak yang bersekutu dengan al-Qaeda dan ISIS telah memperluas wilayah mereka hampir dua kali lipat dalam setahun terakhir. Adapun konfrontasi antara kelompok yang bersaing diperkirakan akan terus berlanjut.

Ketidakstabilan di Mali sebagian besar terjadi pasca-konflik 2012 yang menyebabkan pemberontak di wilayah utara mendorong kemerdekaan. Pada akhir tahun itu, terjadi kudeta militer yang menggulingkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Negara itu selanjutnya mengalami kudeta lagi pada 2020 dan 2021.

Kesepakatan damai pada 2015 berupaya untuk memadamkan pemberontakan di wilayah utara, namun gejolak di pemerintahan telah menjadikan kesepakatan tersebut rapuh. Sehingga memungkinkan terjadinya bentrokan berkelanjutan antara berbagai kelompok bersenjata.

Baca Juga: PBB: Wilayah ISIS di Mali Berlipat Ganda Kurang dari Setahun

Verified Writer

Fatimah

null

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya