TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

1,14 Juta Penduduk Madagaskar Terancam Kelaparan

Krisis iklim menjadi faktor utama selain penggundulan hutan

Seorang ibu di Madagaskar yang membagi jatah nasi kepada anggota keluarganya. (Twitter.com/WFP Madagaskar - PAM)

Antananarivo, IDN Times - Madagaskar adalah negara kepulauan terbesar kedua setelah Indonesia. Pulau utamanya, yakni pulau Madagaskar adalah pulau terbesar keempat di dunia setelah Kalimantan.

Bagian paling ujung selatan pulau Madagaskar yang disebut wilayah Grand Sud, saat ini penduduknya terancam kelaparan. Sejak tiga tahun terakhir sudah sangat sedikit hujan turun dan dalam lima tahun terakhir, badai pasir yang disebut tiomena oleh warga lokal, memperburuk keadaan. Badai itu menutupi lahan pertanian yang sudah kekeringan karena tidak ada hujan atau irigasi.

Dalam laman resminya, PBB memperingatkaan 1,14 juta penduduk Grand Sud terancam kelaparan dan 14.000 orang sudah dalam keadaan bencana atau dalam level Integrated Phase Classification, berada pada tingkat tertinggi yakni fase lima.

Banyak penduduk di Madagaskar selatan yang sudah tidak memiliki makanan karena tidak panen. Mereka bahkan disebut mengonsumsi belalang, rayap, buah kaktus atau dedaunan yang mungkin berbahaya untuk bertahan hidup.

1. 'Desa Zombie' dengan penduduk yang menantikan kematian

Madagaskar Selatan menghadapi musim kelaparan yang sulit setiap tahun. Namun situasi saat ini jauh lebih serius dari pada tahun-tahun sebelumnya. Penggundulan hutan dan pertanian tebas-bakar mengantarkan tanah pada risiko erosi, yang menghasilkan badai pasir ketika angin kuat hadir.

Bencana kelaparan yang mengancam Madagaskar selatan disebut telah sangat memilukan. Beberapa desa ditinggali penduduk yang tak memiliki apa pun, dan mereka makan akar-akaran untuk bertahan hidup.

Melansir laman Al Jazeera, di salah satu dusun di wilayah Anosy, sebuah keluarga berada di luar gubuk mereka. Sedangkan di dalam, seorang ayah meninggal karena kelaparan. Keluarga itu menggali akar-akaran untuk bertahan hidup.

Rahovatae, putri si lelaki yang sudah meninggal selama empat hari dan tidak punya biaya untuk menguburkannya bercerita “saya memotong kaktus dengan pisau. Mengerikan, pahit dan menempel di langit-langit mulut Anda. Bahkan ketika Anda memasaknya tidak terasa apa-apa. Itu membuat kami semakin lemah.”

Dusun tempat mereka berada sepi, banyak ditinggalkan penduduk yang berusaha mencari makanan ke daerah lain, atau ke pusat bantuan distribusi makanan. Hanya ada beberapa penduduk di dusun tersebut, yang oleh para pekerja bantuan kemanusiaan disebut sebagai "desa zombie," tempat tinggal sejumlah kecil orang yang tampaknya menunggu kematian.

Baca Juga: 5 Olahan Tradisional Khas Madagaskar yang Siap Manjakan Lidah, Lezat!

Tahun 2020 dilewati oleh penduduk bagian selatan Madagaskar dengan hanya sedikit sekali hujan. Penduduk tidak lagi panen karena tanah yang kering dan simpanan makanan serta ternak mereka sudah habis karena tahun ini musim paceklik datang lebih awal.

Gema peringatan ancaman kelaparan di bagian selatan Madagaskar tersebut telah diumumkan oleh PBB, ketika dunia sedang sibuk mengumpulkan jutaan ton dosis vaksin COVID-19 dan lonjakan infeksi yang disebabkan oleh varian Delta.

Dalam empat bulan terakhir, anak balita di Madagaskar mengalami hampir dua kali lipat malnutrisi akut dan itu semakin mengkhawatirkan. David Beasley, direktur World Food Programme (WFP) dari PBB mengatakan "ini cukup untuk membuat orang yang paling keras sekalipun menangis."

Laman The Guardian pada bulan Mei lalu telah menurunkan sebuah laporan yang ditulis oleh dua jurnalisnya yang bernama Kaamil Ahmed dan Rivonala Razafison. Dalam laporan tersebut, banyak penduduk mengandalkan makanan liar dan daun yang sulit dimakan yang sebenarnya dapat berbahaya bagi anak-anak dan wanita hamil.

Beberapa badan bantuan kemanusiaan yang sudah terjun di wilayah yang terancam kelaparan tersebut mengaku bahwa orang-orang memakan rayap dan mencampur tanah liat dengan asam untuk bertahan hidup.

Seorang koordinator darurat dari Medecins Sans Frontires bernama Julie Reverse yang telah turun untuk memberikan bantuan di Madagaskar menjelaskan "tanpa hujan, mereka tidak akan dapat kembali ke ladang dan memberi makan keluarga mereka. Dan beberapa orang tidak ragu-ragu untuk mengatakan bahwa kematianlah yang menunggu mereka jika situasinya tidak berubah, dan hujan tidak turun.”

Penduduk yang tinggal di pinggiran daerah bernama Ambovombe bernama Jean-Louis Tovosoa, mengisahkan kepiluan hidup mereka. Menurutnya tidak ada hujan selama tiga tahun terakhir.

"Karena kekeringan yang terus-menerus, angin kencang telah menyapu tanah yang baik untuk bercocok tanam. Mereka telah membunuh tanaman kaktus, yang sangat penting bagi kami di saat kelaparan. Mereka juga menghancurkan tanaman dan membunuh hewan seperti zebus (sapi), domba dan kambing," katanya menjelaskan.

2. Rayap dan tanah liat sebagai penyambung hidup

Baca Juga: Badai Tropis Eliakim Sebabkan 17 Tewas di Madagaskar

Verified Writer

Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya