TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Greenpeace: Suhu Ekstrim Naik di Tokyo, Beijing, dan Seoul

Membuat isu perubahan iklim ini akan dibahas di KTT COP26

Panorama kota Tokyo, Jepang. (Unsplash.com/Jaison Lin)

Tokyo, IDN Times - Berdasarkan analisis baru dari Greenpeace Asia Timur, suhu panas semakin sering terjadi di kota-kota di seluruh Asia Timur. Para peneliti menganalisis data suhu untuk 57 kota di seluruh China, Korea, dan Jepang dan menemukan bahwa cuaca panas tiba di awal tahun di lebih dari 80 persen kota yang dianalisis.

Dari peringatan kelompok lingkungan tersebut, diungkapkan bahwa kedatangan awal cuaca panas dapat memiliki efek parah pada kehidupan masyarakat, serta pertanian.

1. Temperatur suhu yang ekstrim di Asia Timur, berdampak pada ekosistem, pertanian dan kesehatan 

Suasana kota Seoul, Korea Selatan. (Unsplash.com/Jana Sabeth)

Hasil analisis yang dikeluarkan Greenpeace di laman resminya, greenpeace.org, pada hari Kamis (5/8/2021), mengatakan bahwa peristiwa suhu ekstrim tersebut bukan kebetulan dan konsisten dengan perubahan iklim di kawasan Asia Timur.

Seperti di Tokyo dan Seoul, hari panas pertama tahun ini (30 derajat celcius atau lebih tinggi) datang rata-rata 11 hari lebih awal selama periode 2001-2020 dibandingkan dengan dua dekade sebelumnya. Sementara itu di Shanghai, hari pertama yang panas datang 12 hari lebih awal, dan di Sapporo hari itu bergeser ke depan selama 23 hari penuh.

Menurut penelitian tersebut, kota-kota di seluruh wilayah mengalami gelombang panas yang semakin parah dan sering. Antara 2001 dan 2020, frekuensi gelombang panas di Beijing hampir tiga kali lipat dari periode 40 tahun sebelumnya. Di ibu kota Jepang, Tokyo, jumlah hari dengan suhu 33 derajat celcius atau lebih tinggi meningkat lebih dari dua kali lipat sejak tahun 1960-an.

Temperatur yang ekstrim dan awal datangnya cuaca panas menyebabkan dampak ekosistem, pertanian, dan kesehatan yang parah. Orang tua, orang yang bekerja di luar ruangan, dan mereka yang memiliki kondisi kesehatan kronis sangat berisiko. Antara tahun 2000 dan 2018, kematian terkait panas pada orang berusia di atas 65 tahun meningkat sebesar 54 persen di seluruh dunia, di mana Jepang dan China bagian timur menghadapi dampak yang tidak proporsional.

Baca Juga: Greenpeace Puji KPopers Peduli Isu Kebakaran Hutan Papua

2. Greenpeace mendesak agar pemerintah segera ambil tindakan guna mengurangi emisi gas rumah kaca dampak perubahan iklim

Ilustrasi aktivis lingkungan yang melakukan aksi unjuk rasa. (Unsplash.com/Li-An Lim)

Suhu ekstrim ini pun berdampak saat berlangsungnya Olimpiade Tokyo di Jepang.

"Selama dua minggu terakhir, kami telah melihat beberapa atlet Olimpiade pingsan karena serangan panas. Awal musim panas ini, suhu ekstrim di Guangdong, China, memaksa pabrik-pabrik tutup, dan di Korea ratusan ribu ternak dilaporkan mati akibat gelombang panas. Peristiwa suhu ekstrim ini konsisten dengan perubahan iklim di kawasan tersebut," ungkap Mikyoung Kim selaku manajer proyek urgensi iklim Greenpeace Asia Timur.

"Suhu berbahaya hanya akan semakin sering terjadi kecuali pemerintah beralih dari bahan bakar fosil yang mencemari ke sumber energi yang lebih bersih, termasuk angin dan matahari," ungkap Kim.

Greenpeace Asia Timur mendesak agar pemerintah mengambil tindakan guna mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim.

"Pemerintah harus segera mengambil tindakan untuk melindungi kesehatan masyarakat di tengah cuaca ekstrim. Ada kebutuhan mendesak untuk memperkuat target iklim, termasuk mengakhiri semua pembiayaan industri bahan bakar fosil, dan menerapkan peralihan ke energi terbarukan 100 persen secepat mungkin," Kim menambahkan.

Baca Juga: Plastik Kresek Bakal Kena Cukai Rp200, Greenpeace: Bisa Kurangi Sampah

Verified Writer

Rahmah N

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya