TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Gempur Suriah, Trump Ternyata Tidak Minta Izin PBB

Legal kah?

Robert S. Price/Courtesy U.S. Navy/Handout via Reuters

Pada hari Kamis (6/4) waktu setempat, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump memerintahkan militernya untuk menyerang Suriah. Seperti dilaporkan oleh Reuters, 59 misil Tomahawk ditembakkan dari kapal perang USS Porter dan USS Ross yang berlokasi di kawasan Mediterania.

59 misil tersebut menyasar pangkalan udara Suriah, al Shayrat, dan menghancurkan sejumlah pesawat dan stasiun bahan bakar. Pentagon sendiri meyakini bahwa lokasi tersebut digunakan sebagai tempat diluncurkannya gas mematikan yang membunuh 89 orang pada Selasa (4/4).

Dalam pernyataan resminya, Trump mengisyaratkan tindakan Bashar al Assad tak bisa dimaafkan dan harus segera dihentikan.

Carlos Barria/Reuters

Trump tampil di depan publik Amerika untuk memberikan pengumuman terkait serangan militer terhadap Suriah. Menurut Trump, tindakan Assad yang menggunakan gas mematikan itu "keji" dan "barbar" sehingga tak bisa lagi dimaafkan. Ia juga menambahkan alasan yang menjustifikasi keputusannya tersebut.

"Selama bertahun-tahun, usaha untuk mengubah perilaku Assad telah gagal dan gagal dengan sangat dramatis. Hasilnya, krisis pengungsi terus terjadi dan wilayah itu semakin tak stabil, (ini) mengancam Amerika Serikat dan aliansi-aliansi kita," ujar Trump.

Belum ada konfirmasi dari tim investigasi PBB bahwa pemerintah Suriah berada di balik serangan gas beracun.

Ford Williams/Courtesy U.S. Navy/Handout via Reuters

Meski sangat memprihatinkan dan ada indikasi bahwa siapapun pelakunya merupakan penjahat perang, tapi justru di situ letak persoalannya. Terlepas dari Pentagon dan pemerintah AS yang meyakini Bashar al Assad adalah otak serangan gas beracun, tapi belum ada penyelidikan resmi dari PBB untuk memastikan kebenarannya. Maka, hingga kini semuanya masih merupakan spekulasi.

Baca Juga: Selamat Datang Era Dimana Perang Ditayangkan Langsung di Youtube dan Facebook Live

Anggota Dewan Keamanan PBB berselisih paham tentang langkah yang harus diambil terkait Suriah.

DigitalGlobe/Courtesy U.S. Department of Defense/Handout via Reuters

Sebelumnya, Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley berkata bahwa,"Jika PBB secara konsisten gagal dalam melakukan tugasnya secara kolektif, ada waktunya di mana negara harus bertindak sendiri." Pernyataan tersebut disampaikan Haley di tengah pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB pada Rabu (5/4).

AS, Inggris, serta Prancis mengusulkan Dewan Keamanan PBB menerbitkan resolusi untuk mengadakan investigas penuh atas serangan gas beracun di Suriah. Namun, usulan itu mendapat veto dari Rusia yang menyebut isinya tak bisa diterima. Rusia sendiri berdiri di pihak Bashar al Assad dalam konflik Suriah.

AS pun akhirnya menyerang Suriah tanpa izin dari Dewan Keamanan PBB dan Kongres.

Ford Williams/Courtesy U.S. Navy/Handout via Reuters

Dalam Piagam PBB, suatu negara dilarang menyerang negara dan pemerintahan berdaulat lain secara unilateral, kecuali bila negara atau pemerintahan tersebut benar-benar menunjukkan ancaman. Artinya, aksi militer tersebut baru sah secara hukum bila dilakukan dalam rangka membela diri.

Namun, bila tidak, hanya Dewan Keamanan PBB yang diperbolehkan melakukan serangan militer, tentu dengan melalui beragam proses untuk membuktikan bahwa ancaman yang ada akan merusak perdamaian internasional. Ini yang terjadi dalam serangan militer AS ke Suriah yang diperintahkan oleh Trump.

Di satu sisi, langkah tersebut bisa "dimaklumi" karena Dewan Keamanan PBB tak pernah memiliki kesepakatan tentang bagaimana mengatasi konflik di Suriah. Di sisi lain, belum adanya bukti valid terkait siapa pelaku penyebaran gas mematikan tersebut membuat alasan serangan militer AS tidak sah. Belum lagi perbedaan persepsi ancaman di mana AS tak secara langsung menjadi target dari konflik di Suriah.

Trump juga melangkahi Kongres dalam keputusannya tersebut. Dalam Konstitusi AS, Kongres punya kuasa untuk memberi otorisasi pelaksanaan segala bentuk perang. Hukum yang sama juga berlaku di Indonesia. Tujuannya adalah untuk menghindari kemungkinan seorang kepala negara melancarkan perang secara unilateral.

Baca Juga: Warga Sipil Jadi Korban Gas Mematikan, Trump Salahkan Obama dan Assad

 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya