Menangi Referendum, Erdogan Dinilai Akan Menjadi Diktator Baru di Turki
Erdogan disebut sebagai "neo-Ottoman"
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Presiden Turki, Recep Tayyep Erdogan, mengklaim kemenangan dari referendum pada Minggu malam (16/4) waktu setempat. Kemenangan tersebut diikuti dengan pertanyaan atas legitimasi hasil voting dari pihak lawan. Meski begitu, Erdogan menegaskan bahwa keraguan itu tak penting. "Diskusi sudah selesai. (Voting) 'YA' sudah menang," kata Erdogan.
Seperti diketahui, Turki melakukan referendum pada tanggal 16 April 2017 lalu. Referendum tersebut digelar untuk menentukan sistem pemerintahan. Masyarakat setempat diminta untuk memilih apakah setuju dengan 18 butir perubahan konstitusi atau tidak. Sebelum akhirnya diputuskan dalam referendum, perubahan konstitusi tersebut telah disepakati oleh parlemen. Namun, langkah ini banyak ditentang karena dianggap akan memuluskan langkah Erdogan sebagai diktator baru.
Baca Juga: Pemerintah Turki Pecat Lebih dari 10.000 Orang dan Tutup 160 Media
Kemenangan Erdogan berarti hukuman mati untuk demokrasi di Turki.
Erdogan memperoleh 51 persen suara yang menyetujui bahwa kekuasaannya sebagai Presiden Turki akan diperluas hingga ke area tak terbatas. Dengan mayoritas rakyat Turki memilih opsi 'YA', entah dengan sadar atau tidak, mereka mendukung otoritas Erdogan yang tak hanya menjadi kepala negara (jabatan simbolik), tapi juga kepala pemerintahan yang mengurusi berjalannya negara dari hari ke hari.
Kemenangan Erdogan menghasilkan sebuah sistem pemerintahan baru di mana seluruh cabang pemerintahan berpusat pada dirinya. Seperti dituliskan oleh peneliti dari Council on Foreign Relations, Steven A. Cook, di Foreign Policy, Erdogan kelak bisa menunjuk hakim dan jaksa tanpa masukan dari parlemen, menerbitkan dekrit dengan sokongan dari penegak hukum, serta membubarkan parlemen.
Sebagai pemimpin partai AKP yang kini menjadi mayoritas di Turki, ia akan semakin leluasa menggunakan kekuatannya yang tak terbatas karena parlemen tak akan bisa mengoreksi langkah-langkah yang diambilnya. Presiden Turki nantinya bisa berkuasa selama lima tahun dan bisa dipilih sebanyak maksimal dua kali.
Ia bebas menentukan kapan negara dalam keadaan darurat sehingga beragam tindakan bisa diambil secara sepihak, termasuk membungkam para demonstran dan jurnalis seperti yang selama ini terjadi. Belum lagi pada pemilu berikutnya pada 2019 jabatan perdana menteri akan dihapus. Dalam sistem sebelumnya, perdana menteri adalah kepala pemerintahan. Dengan kata lain, Erdogan akan menjadi seorang diktator. Dengan kata lain, demokrasi di Turki telah mati.
Baca Juga: Tahan Jurnalis, Warga Jerman Tolak Kedatangan Erdoğan