TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kabur ke Bangladesh, Begini Beratnya Perjalanan Warga Rohingya

Lebih dari 120.000 orang tinggalkan Myanmar dalam 2 minggu terakhir.

AP Photo/Bernatt Armangue

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres memperkirakan ada lebih dari 120.000 warga Rohingya yang meninggalkan Myanmar karena kekerasan yang terjadi dalam dua minggu terakhir. Mayoritas dari mereka dilaporkan melintasi perbatasan menuju Bangladesh.

Baca juga: Erdogan Hingga Jokowi, Para Kepala Negara Ramai-ramai Kecam Myanmar

Mereka menempuh perjalanan berat.

AP Photo/Bernatt Armangue

Berdasarkan laporan Associated Press, puluhan ribu warga dari etnis Rohingya harus berjalan selama berhari-hari dan menyerahkan tabungan mereka kepada para penyelundup manusia agar bisa sampai ke Bangladesh.

Perjalanan darat yang mereka lalui tidak mudah. Jalur yang tersedia sangat berlumpur karena hujan. Tak hanya harus melewati sawah padi, mereka juga harus melalui sungai yang memisahkan kedua negara. Pria, wanita, ibu-ibu, orang muda dan anak-anak terpaksa mempertaruhkan hidup mereka agar selamat.

Pemerintah Myanmar mengatakan bahwa penyerangan yang mereka lakukan adalah untuk membasmi militan dari Arakan Rohingya Salvation Army yang sebelumnya menyerang pasukan pemerintah pada 25 Agustus lalu.

AP Photo/Bernatt Armangue

Pemerintah mengklaim pemberontak adalah pihak yang bersalah karena membakar rumah mereka sendiri dan menghabisi umat Buddha di Rakhine. Sementara itu, para pengungsi yang masuk ke Bangladesh menceritakan kisah lain.

Mereka berkata, tentara Myanmar melakukan penembakan yang disengaja dan memperingatkan jika mereka ingin selamat, maka mereka harus meninggalkan rumah mereka. Mereka kabur dengan membawa barang seadanya yang bisa membantu mereka bertahan di perjalanan.

Seorang ibu berkata merasa lapar dan tak memiliki makanan sama sekali ketika sampai di sebuah sungai. Uangnya habis untuk membayar penyelundup manusia yang menyelundupkannya dan anggota keluarganya dengan sebuah perahu kayu yang sudah reyot.

Bangladesh menerima ratusan ribu pengungsi Rohingya.

AP Photo/Bernatt Armangue

Tentara Bangladesh yang mengawal perbatasan mengatakan bahwa penderitaan yang dirasakan oleh warga Rohingya sangat nyata. Sikap pemerintah yang diam pun mereka artikan sebagai persetujuan untuk membiarkan puluhan ribu pengungsi masuk. "Ini saatnya untuk menunjukkan rasa kemanusiaan," ujar salah satu tentara.

Sebelum peristiwa 25 Agustus, sebenarnya Bangladesh sudah menerima ratusan ribu warga Rohingya yang kabur untuk menyelamatkan diri dari kekerasan yang dialami. Tak sedikit yang harus membangun tempat berteduh sendiri.

Misalnya, mereka terpaksa membeli bambu dari pasar dan mendirikan pondok. Penjual bambu pun memanfaatkan ini. Jika beberapa batang bambu biasanya dijual kurang dari Rp 10.000, kini mereka menaikkannya hingga lebih dari Rp 30.000.

Kritikan terhadap otoritas Myanmar kian memuncak.

AP Photo/Bernatt Armangue

Pemerintah Myanmar sempat memblokade seluruh bantuan dan pekerja kemanusiaan dari organisasi internasional untuk warga Rohingya. Mereka mengatakan bahwa pekerja kemanusiaan internasional terlibat memberikan dukungan kepada para militan.

Amnesty International sendiri mengutuk keras sikap pemerintah tersebut. Tirana Hasan, salah satu petinggi Amnesty International, berkata:

"Tuduhan bahwa organisasi-organisasi kemanusiaan internasional mendukung aktor-aktor bersenjata di Rakhine adalah ceroboh dan tak bertanggungjawab. Pekerja kemanusiaan selama beberapa dekade telah mendukung rakyat Myanmar, menyediakan bantuan dan pertolongan di waktu-waktu yang dibutuhkan, dan seringkali ketika pemerintah tak mampu melakukannya sendiri. Otoritas Myanmar harus segera berhenti menyebarkan minsinformasi dan tuduhan-tuduhan tak berdasar yang memanaskan situasi."

Protes untuk mencabut gelar Nobel Perdamaian Suu Kyi juga terus meningkat. Sikap diam Suu Kyi dinilai tak pantas, terutama usai Malala Yousafzai yang juga menerima Nobel Perdamaian sudah mengutuk kekerasan itu. Namun, seperti dikutip dari The New York Times, komite Nobel di Norwegia menegaskan bahwa mereka tak bisa melakukan itu. 

"Prinsip yang kita ikuti adalah bahwa keputusan [mengangerahkan Nobel Perdamaian] bukan sebuah deklarasi bahwa seseorang itu adalah orang suci. Ketika keputusan sudah dibuat dan penghargaan diberikan, itu mengakhiri kewajiban komite," kata Gunnar Stalsett, mantan anggota komite.

Baca juga: Pejabat Senior PBB: Myanmar Sedang Melakukan Upaya Pembersihan Etnis Rohingya

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya