TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dokumenter Mei 98, Rekaman tentang Mahalnya Sebuah Reformasi

Selama berbulan-bulan, para mahasiswa melakukan perlawanan berdarah hingga tak sedikit yang meregang nyawa.

IDN Times/Sukma Shakti

Jakarta, IDN Times - "Bukankah tidak ada yang lebih suci bagi seorang pemuda daripada membela kepentingan bangsanya?" tanya salah satu penulis hebat Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, dalam novelnya yang berjudul 'Di Tepi Kali Bekasi'.

Seperti sebuah ramalan, lebih dari setengah abad setelah Pram menulisnya, ratusan ribu mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai universitas meninggalkan kampus mereka dan menantang kekuasaan.

Hanya bermodalkan poster, suara lantang, keyakinan terhadap keadilan serta keberanian, mereka menghadapi kekuasaan yang selama 32 tahun dipertahankan. Kekuasaan yang dibentengi barisan prajurit yang membawa senapan.

Baca Juga: Kronologi Reformasi Mei 1998, Terjungkalnya Kekuasaan Soeharto

1. Perlawanan mereka terekam dalam film dokumenter 'Student Movement in Indonesia'

filmindonesia.or.id

Tino Saroengallo berada pada waktu dan tempat yang tepat. Pada 21 Mei 1998, ia merekam bagaimana kemarahan para mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR RI seperti mendapatkan pembalasan sepadan. Soeharto turun takhta. Sebuah takhta yang ia pertahankan mati-matian dengan turut mengorbankan nyawa-nyawa tak berdosa.

Dalam lima menit di awal film, Tino membawa kita ke beberapa hari sebelum momen yang mengubah jalannya sejarah Indonesia itu. Situasi yang memanas sebenarnya sudah bisa dirasakan di Universitas Trisakti yang letaknya hanya beberapa kilometer dari Senayan.

Para mahasiswa tadinya dipaksa hanya berdemonstrasi di kampus. Tapi mereka tak bisa lagi menerima perintah dan akhirnya turun ke jalan di depan markas parlemen. Kedatangan mereka disambut dengan rentetan tembakan peluru dari senjata-senjata yang dibawa militer dan kepolisian. Empat mahasiswa tewas.

Kamera Tino sempat menyorot seorang pemuda yang sudah tergeletak hampir tak berdaya di jalan. Sejumlah aparat kepolisian berseragam lengkap lalu membawa tameng dan senapan laras panjang tampak berjalan santai tanpa mempedulikannya.

Kemudian, salah satu dari mereka menendang pelipis pemuda itu hingga berdarah. Tragedi Trisakti itu terjadi pada 12 Mei 1998. Dari sana, kelompok mahasiswa yang mengatasnamakan bangsa Indonesia tak hanya memiliki Soeharto sebagai musuh. Aparat keamanan pun harus mereka lawan.

2. Mahasiswa kembali turun ke jalan untuk menuntut Habibie mundur

filmindonesia.or.id

Awalnya, para mahasiswa merasa puas dengan berhasil melengserkan sosok yang selama puluhan tahun dianggap sebagai satu-satunya yang membawa stabilitas. Namun, mereka memandang bahwa penggantinya, BJ Habibie, adalah kroni Soeharto sehingga dinilai tak pantas menjadi presiden.

Salah satu aktivis perempuan dari Forum Kota yang sangat vokal mengatakan kepada Tino bahwa Habibie adalah "Raja KKN" yang merupakan kepanjangan dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kemudian, kamera Tino mengikuti perlawanan lanjutan mereka di bulan Oktober 1998.

"Yang mau tolak Habibie, tepuk tangan!" seru seorang orator kepada para mahasiswa yang melakukan aksi damai. Orator lainnya melantangkan Sumpah Mahasiswa yang diikuti oleh puluhan lainnya. "Sumpah mahasiswa! Kami, mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan."

Ia melanjutkan,"Kami mahasiswa Indonesia bersumpah berbangsa satu, bangsa yang patuh kepada keadilan. Kami mahasiswa Indonesia bersumpah berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan." Demonstrasi mereka yang terbilang semakin meningkat dalam satu bulan pun dihadapi aparat dengan persenjataan.

Dwifungsi ABRI mengizinkan militer untuk tak hanya mengamankan negara dari serangan eksternal, tapi juga mereka yang dianggap musuh di dalam negeri. Dalam hal ini adalah para demonstran. "ABRI tidak ubahnya seperti Nazi. Tidak ubahnya seperti fasis di Itali," teriak seorang mahasiswa yang direkam Tino.

Puluhan ribu anggota militer dan kepolisian diterjunkan untuk merespons para mahasiswa dari seluruh Indonesia yang tak bersenjata. Pada pertengahan Oktober, demonstran menolak Sidang Istimewa yang beragendakan penentuan pemilu selanjutnya. Suasana yang memanas semakin tak terhindarkan.

Baca Juga: Melacak Jejak Reformasi Mei 1998, Ini Petanya

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya