TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Australia Minta RI Jamin Ba'asyir Bukan Lagi Ancaman setelah Bebas

Ba'asyir sudah lama ditinggalkan oleh para pengikutnya

Abu Bakar Ba'asyir (ANTARA FOTO/Resno Esnir)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Australia pada Selasa, 5 Januari 2021 meminta jaminan kepada Indonesia bahwa ketika Abu Bakar Ba'asyir dibebaskan pada Jumat, 8 Januari 2021 tidak akan kembali menyebarkan kebencian sehingga muncul teror baru. Hal itu disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Marise Payne dan diteruskan ke Kedutaan Negeri Kanguru di Jakarta. 

"Kedutaan kami di Jakarta telah menyampaikan secara jelas kekhawatiran kami bahwa individu yang bersangkutan dicegah agar tidak lagi menyebar kebencian terhadap orang lain sehingga bisa melakukan serangan di masa mendatang ke warga sipil," ungkap Payne dan dikutip kantor berita Reuters

Australia memantau dari dekat isu pembebasan Ba'asyir lantaran ia disebut-sebut terkait aksi pemboman di Bali yang menewaskan 202 orang. Sebanyak 88 jiwa merupakan warga Australia. Ba'asyir yang kini berusia 82 tahun membantah ikut terlibat dalam aksi pemboman yang terjadi tahun 2002 lalu tersebut. 

Menlu Payne telah meminta kepada koleganya di Indonesia untuk memastikan Ba'asyir bukan lagi ancaman bagi warga lain. Tetapi, benar kah hingga kini Ba'asyir masih menjadi ancaman teror di masa mendatang?

Baca Juga: Terpidana Teroris Abu Bakar Ba'asyir Bebas dari Penjara 8 Januari 2021

1. Para pengikut Abu Bakar Ba'asyir kecewa karena ia berbaiat ke ISIS

ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Menurut pandangan pengamat terorisme, Al Chaidar, para pengikut di Jemaah Islamiyah (JI) sudah lama kecewa terhadap Abu Bakar Ba'asyir, karena ia malah berbaiat atau mengangkat sumpah setia kepada ISIS. Padahal, ISIS adalah musuhnya Al-Qaeda. Seperti yang diketahui JI merupakan kelompok teroris yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. 

"Banyak orang-orang di Al-Qaeda dan kelompok afiliasinya yang kecewa kepada Ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Mereka sudah dikecewakan setidaknya enam kali," ungkap Chaidar kepada IDN Times melalui telepon pada Rabu (6/1/2021). 

Dalam pandangan para pengikutnya dulu, Ba'asyir dianggap bukan lagi tokoh yang konsisten. "Contoh, dalam kasus bom Bali dia malah tidak mengakui (terlibat), tapi anak buahnya justru terjerat hukum," tutur dia lagi. 

Selain aksi Bom Bali, Ba'asyir juga menepis terlibat dalam teror lainnya seperti bom malam Natal, pelatihan militer di Aceh hingga bom di Hotel JW Marriott. "Kekecewaan itu jelas sekali terlihat dengan mereka meninggalkan JI dan membentuk MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), tetapi malah disebut oleh Ba'asyir MMI menganut sistem Yahudi," katanya. 

Ba'asyir sendiri masih terkait dengan terbentuknya kelompok teror lain seperti JAT (Jamaah Ansharut Tauhid) dan JAD (Jamaah Ansharut Daulah). Tetapi, kata Chaidar, usai terbentuk, Ba'asyir malah meninggalkan kelompok yang pernah dibentuknya itu. 

2. Kekhawatiran Australia terhadap Abu Bakar Ba'asyir dinilai berlebihan

Abu Bakar Ba'asyir (ANTARA FOTO/Idhad Zakaria)

Dalam pandangan Chaidar, kekhawatiran yang disampaikan oleh Menlu Payne dinilai terlalu berlebihan. Sebab, Ba'asyir sudah lama tidak lagi dianggap sebagai pemimpin spiritual dan ustaz organik oleh para pengikutnya. Sehingga, kecil kemungkinan Ba'asyir bisa menyebar paham radikalisme hingga terjadi aksi teror baru. 

"Seharusnya Pemerintah Australia itu membaca tulisan Ken Ward yang judulnya From Jihad to Dakwah. Perubahan JI nya dipaparkan di sana," kata Chaidar. 

Namun, ia juga melihat respons yang disampaikan oleh Menlu Payne tidak terlepas dari tekanan di dalam Australia. Dalam aksi teror bom Bali tahun 2002 lalu, mayoritas korban tewas berasal dari Negeri Kanguru. 

"Jadi, kalau pemerintahnya tidak merespons dengan keras maka bisa dianggap mengabaikan nyawa-nyawa korban (aksi teror) itu," ujarnya lagi. 

Baca Juga: Abu Bakar Ba'asyir Kecewa Batal Dibebaskan dari Penjara 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya