Kemenkum HAM: Belum Ada Pengajuan Calling Visa dari Warga Israel
Salah satu tujuan dibuka calling visa untuk investasi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) sudah kembali membuka layanan calling visa bagi delapan negara termasuk Israel sejak 23 November 2020 lalu. Diaktifkannya lagi layanan calling visa di tengah pandemik COVID-19 memicu tanda tanya. Apalagi salah satu negara yang diberikan akses untuk bisa mengajukan permohonan masuk ke Tanah Air adalah Israel.
Kepala Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama Kemenkum HAM, Heni Susila Wardoyo mengatakan negara calling visa adalah negara yang kondisinya dinilai mempunyai tingkat kerawanan tertentu ditinjau dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara, dan aspek keimigrasian.
IDN Times sempat mengonfirmasi apakah Israel memenuhi kriteria itu, Heni menyebut Kemenkum HAM hanya menjalankan aturan yang sudah ada sebelumnya. Aturan yang dimaksud adalah Keputusan Menteri Hukum dan HAM tahun 2012.
Dalam aturan lama, ada 11 negara, termasuk Israel yang diberi layanan calling visa. Sementara, di aturan yang baru yakni Kepmen tahun 2013, Irak dihapus dari daftar calling visa karena hubungan kedua negara semakin membaik. Sehingga, warga Irak sudah bisa mengajukan permohonan visa seperti warga asing lainnya.
Salah satu yang membedakan pengajuan visa biasa dengan calling visa yakni sebelum akses masuk dikeluarkan, maka harus melalui proses rapat yang disebut tim clearing house. Tim penilai tersebut terdiri dari Kemenkumham, Kemendagri, Kemenlu, Kemenaker, Polri, Kejaksaan Agung, BIN, Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia, dan Badan Narkotika Nasional.
"Tim akan rapat koordinasi untuk menilai apakah seseorang layak atau tidak untuk diberikan visa, jadi pemberian visa kepada warga negara dari subjek calling visa sangat teliti dan ketat, serta sangat mungkin untuk dilakukan penolakan" ujar Heni melalui telepon pada hari ini.
Lalu, mengapa Israel tetap diberikan fasilitas layanan calling visa? Padahal, antara Indonesia dengan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik.
Baca Juga: Hidayat Nur Wahid Desak Jokowi Batalkan Calling Visa Israel
1. Negara subjek calling visa memiliki ragam kepentingan mulai dari bekerja hingga investasi
Sementara, di dalam keterangan tertulis, Heni menjelaskan negara yang diberikan layanan calling visa adalah kluster terakhir yang diberikan relaksasi permohonan visa setelah adanya pembatasan orang asing masuk ke Indonesia.
"Alasan utama dibukanya kembali pelayanan calling visa adalah mengakomodasi hak-hak kemanusiaan para pasangan kawin campur, baru kemudian untuk tujuan investasi, bisnis, dan bekerja," kata Heni.
Delapan negara yang diberikan layanan calling visa yaitu Afghanistan, Guinea, Israel, Korea Utara, Kamerun, Liberia, Nigeria, dan Somalia. Berdasarkan laporan laman Hareetz Mei 2018 lalu, Pemerintah Indonesia sudah memberikan akses visa bagi warga Israel untuk kepentingan pariwisata.
Hingga 2015 lalu, biro perjalanan dapat membawa sekelompok warga Israel untuk berwisata masuk ke Indonesia, usai melalui berbagai upaya yang sulit. Lantaran tidak ada hubungan diplomatik di antara kedua negara, proses pengurusan visa menjadi rumit dan memakan waktu.
Warga Israel, menurut Hareetz, hanya dapat mengajukan permohonan visa melalui Badan Indonesia-Israel yang dibentuk pada April 2018. Biaya untuk pengurusan visa mencapai 135 dolar AS atau setara Rp1,8 juta. Dokumen visa hanya berlaku selama 30 hari. Bila ingin memperpanjang, maka dikenakan biaya 35 dolar AS atau setara Rp491 ribu per harinya.
Editor’s picks
Bila pengajuan visa disetujui oleh otoritas di Indonesia, maka warga Israel harus mengambil dokumen itu di KBRI Singapura. Pengambilan visa dikenalan biaya 75 SGD atau setara Rp793 ribu.
Selain visa untuk keperluan wisata, warga Israel juga dilaporkan bisa mengurus visa bisnis dengan biaya 800 dolar AS atau setara Rp11,3 juta.
Baca Juga: Jubir Kemlu: Calling Visa untuk Israel Bukan Buka Hubungan Diplomatik