TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Rapid Support Forces Perang dengan Militer Sudan, Siapa Mereka? 

Apa bedanya RSF dengan militer Sudan?

Kondisi Sudan saat ini, 23 April 2023. (dok. KBRI Khartoum)

Jakarta, IDN Times - Kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) kini kembali disorot. RSF bentrok dengan militer Sudan sejak 15 April 2023 lalu dan menewaskan setidaknya 512 orang, hingga hari ini.

Peperangan di Ibu Kota Khartoum menyebabkan ratusan ribu warga asing harus dievakuasi. Begitu pun dengan warga Sudan sendiri.

Siapa sebenarnya RSF? Apa perannya di pusaran politik Sudan?

Baca Juga: Militer Sudan dan RSF Sepakat Perpanjang Gencatan Senjata

1. Sempat bersekutu dengan militer dan Omar al-Bashir

Logo Rapid Support Forces Sudan (dok. Twitter @RSFSudan)

Kedua belah kubu ini mulanya adalah sekutu. Namun, pemimpin militer Sudan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan pemimpin RSF Jenderal Mohammed Hamdan ‘Hemedti’ Dagalo kini menjadi rival.

RSF sendiri dibentuk pada 2013 silam. Awalnya mereka dituding sebagai milisi Janjaweed yang melakukan kejahatan HAM di Darfur, selama konflik tahun 2000-an.

Akibat konflik Darfur, sekitar 2,5 juta orang harus mengungsi dan 300 ribu orang tewas.

Pemerintah menggunakan Janjaweed untuk membantu militer menghentikan pemberontakan. Pada 2017, UU yang melegitimasi RSF sebagai pasukan keamanan independen disahkan.

Meski menjadi sekutu dari Omar al-Bashir, Hemedti juga mengambil bagian ketika menggulingkan al-Bashir dari kursi presiden pada 2019. Sekarang, Hemedti menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Kedaulatan Sudan, yang dipimpin Burhan.

Usai terlibat kudeta pada 2019, pada Oktober 2021, al-Burhan dan Hemedti mengatur kudeta lagi. Mereka menghentikan pemerintahan transisi demokratis pascapenggulingan Omar al-Bashir pada 2019.

Al-Burhan merupakan tentara karir dari pemerintahan, sementara Hemedti merupakan pejuang demokrasi dan hak rakyat Sudan. Kudeta pada 2021 pecah dan konfliknya berlanjut sampai hari ini.

2. Dituduh lakukan genosida

Mahkamah Pidana Internasional atau ICC menuding pemerintahan Bashir kala itu serta Janjaweed melakukan genosida dan kejahatan perang di Darfur.

Selain Darfur, RSF juga diduga melakukan pelanggaran HAM di Blue Nile dan Kordofan Selatan. Hingga saat ini, diperkirakan RSF punya lebih dari 100 ribu anggota.

Pada 2013, Janjaweed resmi berubah nama menjadi Rapid Support Forces atau RSF. Anggota RSF kala itu sempat diperbantukan untuk menjaga perbatasan.

Pada 2015, RSF bersekutu dengan militer Sudan, mengirim pasukan mereka berperang di Yaman, bersama dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Pada 2017, RSF disahkan menjadi pasukan keamanan independen Sudan. Hal ini tentu sempat dikhawatirkan tumpang tindih dengan adanya militer Sudan.

Baca Juga: Kloter Terakhir dari Sudan, 111 WNI Terbang ke Jeddah Hari Ini 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya