TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Nasib Mahasiswi Akhir Afghanistan: Hati Saya Berdarah Kampus Tutup 

Taliban resmi menutup kampus untuk perempuan

Ilustrasi penggunaan burqa di Afghanistan (Pixabay.com/Army Amber)

Jakarta, IDN Times – Polemik pembatasan kuliah untuk mahasiswi Afghanistan kian disoroti usai rezim Taliban mengeluarkan keputusan untuk menutup universitas. Berbagai dampak dan reaksi dari banyak pihak bermunculan.

Maryam, nama samaran, adalah mahasiswi jurusan ilmu politik yang kini menempuh semester akhir. Perempuan berusia 23 tahun itu sedang mengerjakan tugas akhirnya pada Selasa (20/12/2022) malam, ketika tunangannya menelepon dan mengatakan Taliban telah melarang perempuan ke universitas.

“Dia mengatakan kepada saya, 'saya sangat menyesal, kamu tidak akan dapat mengikuti ujian akhirmu. Universitas telah ditutup untukmu.' Hati saya berdarah sejak mendengar kata-kata itu,” katanya kepada Al Jazeera, sambil menahan air mata.

Menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Tinggi Taliban, Nida Mohammad Nadim, pada Selasa Taliban menyerukan kepada semua universitas negeri dan swasta untuk menangguhkan pendidikan anak perempuan sampai pemberitahuan lebih lanjut.

Belum jelas alasan di balik semua itu. Yang pasti, larangan itu datang setelah wanita di Afghanistan mengikuti tes masuk universitas pada Oktober.

Pada Rabu pagi, kendaraan militer sudah berada di depan kampus dan memblokir perempuan memasuki area universitas.

Baca Juga: Negara Teluk Kompak Kutuk Taliban yang Larang Perempuan Kuliah

1. Impian yang kandas 

Seorang anak perempuan di Kabul, Afghanistan, siap berangkat ke sekolah. (Unsplash.com/Wanman uthmaniyyah)

Maryam telah mempersiapkan diri, hanya beberapa jam sebelum larangan muncul, untuk menghadapi ujian akhir yang rencananya akan digelar beberapa hari mendatang. Dia berada di semester akhir, sedikit lagi untuk memperoleh gelar sarjana ilmu politik. Dia bertekad untuk menuntaskan studi meski kondisi negaranya suram.

“Setiap hari saya pergi bekerja, kemudian menghadiri kelas di malam hari, dan belajar sampai larut malam, sehingga saya dapat mencapai impian saya dan mengabdi pada negara saya,” katanya.

“Saya harus mengirim esai ke universitas lain untuk mendapatkan beasiswa master. Tapi tangan dan kakiku mati rasa. Saya tidak bisa menulis kata-kata. Aku ingin menangis, tapi aku tidak bisa menangis. Saya merasa telah dihukum karena memiliki harapan dan impian,” tambahnya.

Rasa kehilangan juga digaungkan mahasiswi lainnya di seluruh negeri tersebut.

Sahar, seorang mahasiswi ilmu komputer yang tengah berada pada semester akhir, mengungkapkan kegundahan hatinya.

“Saya merasa bungkam saat pertama kali mendengar berita itu. Saya masih tidak dapat berkata-kata untuk menggambarkan rasa sakit yang saya rasakan di hati saya,” ungkap Sahar, yang menolak disebutkan nama aslinya.

Sedari awal, ia berniat untuk melanjutkan pendidikannya untuk tingkat magister di bidang yang sama. Sahar tengah mempertimbangkan untuk lanjut kuliah di luar negeri. Namun, kebijakan Taliban tersebut menghambat semua upayanya.

“Jika saya tidak bisa belajar, hidup saya tidak berarti. Itu tidak ada nilainya,” tuturnya.

2. Mahasiswi terkungkung aturan  

Para perempuan di London, Inggris, melakukan aksi protes terhadap pemerintahan Taliban Afghanistan setelah pengambilalihan pada 2021. (Unsplash.com/Ehimetalor Akhere Unuabona)

Meskipun menjanjikan sikap yang lebih lembut pada isu-isu perempuan, Taliban telah memberlakukan pembatasan yang semakin keras terhadap kebebasan, hak, dan pergerakan perempuan.

Madina, nama samaran seorang dosen universitas negeri di Afghanistan, merasakan betul bagaimana perasaan mahasiswinya.

“Murid-murid saya menangis, anak-anak ini memiliki mimpi dan harapan yang mereka pegang bahkan selama semua kehilangan dan krisis selama 16 bulan terakhir," katanya.

Ia bercerita apa yang dirasakan mahasiswi Afganistan saat ini persis dengan yang terjadi padanya di dekade 90-an.

“Saya kehilangan pendidikan saya selama bertahun-tahun karena larangan mereka ketika terakhir kali mereka berkuasa. Saya terus belajar secara rahasia seperti yang dilakukan banyak pelajar Afghanistan sekarang, tetapi banyak kerja keras untuk melanjutkan dari bagian terakhir yang kami tinggalkan setelah Taliban pergi. Saya tidak akan mengharap nasib semacam itu terjadi pada siapa pun,” katanya.

Ia mengatakan bahwa rezim Taliban sangat ketat dengan berbagai hal soal perempuan. Beberapa kali mahasiswi dihentikan oleh petugas Taliban karena jenis dan warna pakaian yang mereka kenakan.

Madina menambahkan, dia sendiri pernah dihentikan beberapa kali karena bepergian ke universitas tanpa wali laki-laki atau mahram.

“Saya belum menikah, ayah saya sudah lama meninggal, dan Taliban membunuh saudara laki-laki saya, satu-satunya mahram saya, dalam serangan 18 tahun lalu. Apa yang harus aku lakukan?"

Profesor lain bernama Ahmad, menambahkan pandangan Madinah. Menurutnya, perempuan menghadapi tekanan yang tinggi karena aturan yang sangat ketat.

“Mereka harus memakai pakaian panjang dan hitam, mereka tidak diperbolehkan masuk ke ruangan profesor laki-laki atau berbicara dengan profesor laki-laki di luar kelas. Mereka harus masuk universitas hanya pada hari dan waktu tertentu. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan smartphone, bahkan untuk keperluan fotografi,” katanya.

Melihat aturan yang berlaku baru-baru ini, Ahmad mendorong mahasiswi untuk mengerjakan tugas akhirnya secepat mungkin. Ia juga akan memprioritaskan perempuan untuk lulus tepat waktu, meskipun ada larangan tersebut.

Wanita Afghanistan juga mengimbau Taliban untuk tidak mempolitisasi pengetahuan.

"Sebagai seorang wanita Muslim, saya meminta hak Taliban yang diberikan kepada saya dalam Islam. Mereka harus menjawab para wanita Afghanistan mengapa mereka melakukan ini pada kami,” kata Maryam.

Baca Juga: Taliban Pakistan Rebut Penjara, Petugas Disandera-Minta Jalur Evakuasi

Verified Writer

Zidan Patrio

patrio.zidan@gmail.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya