PBB: 1 Juta Lebih Warga Myanmar Mengungsi Sejak Junta Lakukan Kudeta
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times – Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi anak-anak (UNICEF) melaporkan, lebih dari 1 juta orang telah mengungsi di Myanmar sejak kudeta militer terjadi tahun lalu.
Sebagaimana diketahui, negara Asia Tenggara itu berada dalam kekacauan politik, sejak militer menggulingkan pemerintah Aung San Suu Kyi. Kerusuhan dipicu oleh penolakan warga sipil atas kudeta yang direspons dengan senjata oleh junta militer Myanmar.
Pada Kamis (6/10/2022), UNICEF menyampaikan setidaknya lebih dari 1.017.000 orang telah mengungsi, dikutip dari The Straits Times.
1. Junta dikecam karena lakukan berbagai pelanggaran HAM
Kelompok hak asasi manusia (HAM) menuduh junta telah melakukan pelanggaran kemanusiaan dengan penghancuran desa, pembunuhan massal di luar proses hukum, proses peradilan yang tidak transparan, hingga serangan udara terhadap warga sipil.
UNICEF juga menambahkan, setengah lebih dari mereka yang terpaksa melarikan diri berada di wilayah Sagaing barat laut Myanmar, yang telah menyaksikan beberapa pertempuran paling sengit.
Ada tantangan signifikan untuk memberikan bantuan kemanusiaan di wilayah tersebut, kata UNICEF. Sebab, Sagaing dilintasi oleh pasukan junta, milisi pro-militer, dan pejuang anti-kudeta dan di mana pihak berwenang secara teratur memutus akses Internet.
Baca Juga: Gegara Meliput Demo, Jurnalis di Myanmar Ini Dihukum 10 Tahun Penjara
2. Aksi junta sebelumnya menewaskan 11 anak-anak
Editor’s picks
Lebih dari 12 ribu properti sipil diperkirakan telah dibakar atau dihancurkan di seluruh Myanmar sejak kudeta, kata badan kemanusiaan PBB UNOCHA pada Mei.
Bulan lalu, sedikitnya 11 anak sekolah tewas dalam serangan udara dan penembakan di sebuah desa di Sagaing, serangan yang menurut junta menargetkan pemberontak yang bersembunyi di daerah itu.
Upaya diplomatik untuk mengakhiri krisis hampir mati. Konsensus yang ditengahi tahun lalu oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang bertujuan untuk memfasilitasi dialog antara militer dan lawan-lawannya dan pengiriman bantuan kemanusiaan sebagian besar telah diabaikan oleh junta.
3. Junta baru saja memvonis 10 tahun jurnalis Jepang
Baru-baru ini, langkah hukum junta juga menuai kritik, lantaran menjatuhkan vonis 10 tahun kepada jurnalis Jepang yang meliput demo. Aksi yang dilakukan jurnalis bernama Toru Kubota dianggap menyulut kerusuhan dan provokasi, sehingga melanggar undang-undang transaksi elektronik dan penghasutan.
Kubota adalah salah satu dari sekitar 50 jurnalis yang masih ditahan oleh junta militer. Kubota ditangkap pada 30 Juli setelah merekam protes antipemerintah.
Melansir Asahi Shimbun, wakil kepala misi Kedutaan Besar Jepang, Tetsuo Kitada, mengatakan bahwa Kubota didakwa atas dua kesalahan. Pertama, karena pelanggaran undang-undang transaksi elektronik dengan ganjaran hukuman 7 tahun penjara.
Lalu kedua, Kubota dianggap melakukan penghasutan yang membuatnya dihukum 3 tahun penjara. Dua hukuman itu dilakukan secara bersamaan sehingga total hukuman penjara adalah 10 tahun.
Baca Juga: Tangkap Ikan di Perairan Indonesia, Nakhoda Myanmar Didenda Rp500 Juta
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.