Anak-anak korban konflik di Suriah. (Twitter.com/USAID Middle East)
Meski zona aman yang dirancang sebagai koridor kemanusiaan dipandang gagal pada pertama kali istilah itu diterapkan, tapi praktik tersebut masih dilanjutkan dalam beberapa konflik mematikan selanjutnya.
Di Ethiopia, ketika pemerintah pusat berperang melawan pasukan pemerintah regional Tigray sejak 2020 sampai saat ini, zona aman koridor kemanusiaan juga dicari untuk membantu jutaan warga sipil yang menderita karena blokade.
Praktik koridor kemanusiaan juga pernah dilakukan di Suriah. Pasukan oposisi pro-demokrasi berusaha menggulingkan rezim Presiden Bashar al-Assad. Rusia intervensi pada tahun 2015 untuk membantu Assad.
Dalam strategi menghadapi pasukan pejuang pro-demokrasi, dilansir Associated Press, Suriah dan militer Rusia menerapkan strategi pengepungan kota, terkadang selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Pengepungan seperti itu, dengan dibarengi bombardir dari udara, artileri dan roket yang merusak banyak fasilitas publik, termasuk rumah sakit dan perumahan warga.
Akhirnya proposal koridor kemanusiaan diajukan oleh kubu Rusia-Suriah yang membuat warga sipil atau bahkan pejuang bisa meninggalkan wilayah itu ke tempat aman. Umumnya, mereka diungsikan ke Idlib yang saat ini jadi salah satu tempat berkumpulnya para oposisi Suriah.
Tapi koridor kemanusiaan di Suriah juga memiliki hasil yang berbeda. Afraa Hashem, aktivis yang selamat dari pengepungan Aleppo dan kini tinggal di London menjelaskan "ketika mereka berbicara koridor kemanusiaan atau gencatan senjata, kami tidak pernah mempercayai mereka. Bagaimana Anda bisa mempercayai seseorang untuk menghentikan siapa yang selalu mengebom Anda?" katanya.
"Setelah empat tahun di bawah pengeboman, mereka memaksa kami pergi, begitulah adanya. Mereka tidak menyelamatkan kami. Mereka menempatkan kami di area bom lain, Idlib," tambah Hashem.