Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Utusan iklim Amerika Serikat, John Podesta, saat bertemu dengan Menteri Luar Negeri Jepang Yoko Kamikawa (kanan) di Tokyo pada 14 Maret 2024 waktu setempat. (twitter.com/MofaJapan_en)
Utusan iklim Amerika Serikat, John Podesta, saat bertemu dengan Menteri Luar Negeri Jepang Yoko Kamikawa (kanan) di Tokyo pada 14 Maret 2024 waktu setempat. (twitter.com/MofaJapan_en)

Jakarta, IDN Times - Utusan iklim Amerika Serikat (AS), John Podesta, mendesak Jepang untuk mempercepat peluncuran energi terbarukan dan fokus pada teknologi, termasuk energi angin lepas pantai.

"Pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai, khususnya teknologi turbin terapung, dapat membantu Jepang melakukan dekarbonisasi. Terdapat peluang untuk berkolaborasi dengan AS dalam hal ini," kata Podesta dalam sebuah pengarahan di Tokyo.

"Ada peluang besar untuk membangun energi terbarukan di Asia. Tidak diragukan lagi bahwa jika kita ingin mencegah bencana kemanusiaan yang dahsyat, kita perlu melakukan transisi tersebut. Serta, meningkatkan kecepatan dan skala tindakan tersebut," sambungnya dikutip dari The Straits Times pada Kamis (14/3/2024).

Podesta juga menuturkan, pengaktifan kembali tenaga nuklir juga penting bagi Jepang, guna memenuhi target iklimnya. 

1. Peluang dan tantangan Jepang pada energi terbarukan

Jepang memiliki target pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai yang ambisius, namun belum mendedikasikan sumber daya yang signifikan untuk meningkatkan kapasitasnya.

Saat ini, negara tersebut berada pada jalur untuk menghasilkan 4,4 gigawatt pada 2030, namun jumlah tersebut masih jauh dari target untuk mencapai 10 gigawatt pada akhir dekade.

Bahan bakar fosil masih menyumbang sekitar 70 persen pembangkit listrik di Negeri Sakura, kendati pada 2023 Perdana Menteri Fumio Kishida berjanji pada COP28 untuk tidak lagi membangun pembangkit listrik tenaga batu bara di dalam negeri.

Jepang mengatakan bahwa mereka membutuhkan semua alat yang tersedia guna mencapai net-zero. Namun, rencana itu bergantung pada teknologi yang belum tersedia dalam skala besar. Ini termasuk menggabungkan penangkapan dan penyimpanan karbon dengan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas.

Negara ini juga mengincar pembakaran amonia dan hidrogen dengan bahan bakar fosil, meski dikritik karena terlalu mahal dan berpotensi tidak efektif.

2. Komitmen AS-Jepang terhadap dekarbonisasi global

Saat bertemu dengan Menteri Luar Negeri Jepang Yoko Kamikawa pada Kamis, Podesta mengatakan bahwa Washington-Tokyo sedang mendiskusikan pendanaan transisi energi. Kedua negara juga harus bersinergi menjelang COP29.

Jepang menargetkan net-zero pada 2050 untuk mencapai tujuan 1,5 derajat Perjanjian Paris. Upaya tersebut dinilai tertinggal, jika dibandingkan negara-negara G7 lainnya dalam upaya dekarbonisasi. 

Di sisi lain, Kamikawa menyerukan bahwa target pengurangan gas rumah kaca Jepang adalah pada tahun fiskal 2030. Dia juga menggarisbawahi negaranya akan mempercepat transformasi hijau dan terus berkontribusi terhadap dekarbonisasi global.

Keduanya sepakat mengenai pentingnya semua negara, termasuk negara penghasil emisi besar untuk melakukan upaya mengurangi emisi dengan semangat solidaritas. Serta, menegaskan kembali untuk menjaga kerja sama dan keterlibatan erat mereka untuk tujuan tersebut, dilansir laman resmi Kementerian Luar Negeri Jepang.

3. Kunjungan Podesta ke Jepang jelang pertemuan Kishida-Biden

Ilustrasi bendera Jepang. (twitter.com/iaeaorg)

Kunjungan Podesta ke Jepang dilakukan menjelang pertemuan antara Kishida dan Presiden Joe Biden di Washington pada 10 April mendatang. Menurut Podesta, lawatannya tersebut merupakan momen yang baik bagi kedua negara untuk membahas rencana ke depan.

Podesta menggantikan John Kerry pekan lalu. Namun, berbeda dengan Kerry yang menduduki jabatan Utusan Iklim AS di Departemen Luar Negeri, Podesta akan bermarkas di Gedung Putih dalam peran barunya.

Jika sebelumnya, Kerry berfokus pada ambisi iklim di negara-negara Timur Tengah, kini penggantinya diperkirakan akan berkonsentrasi pada negara-negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorRahmah N