Polisi huru-hara Hong Kong menangkap seorang demonstran dalam aksi unjuk rasa pro-demokrasi.ANTARA FOTO/REUTERS/Kai Pfaffenbach
Dalam beberapa tahun terakhir, pembatasan atau pemblokiran internet menjadi salah satu cara yang difavoritkan pemerintah otoriter ketika menganggap ada situasi genting.
Dikutip dari TIME, sejak Maret 2018 pemerintah Chad telah memblokir sejumlah media sosial dan layanan pesan instan termasuk Facebook, Twitter, dan WhatsApp.
Pada Januari 2019 kemarin, Kongo baru saja melaksanakan Pemilu. Tak sedikit yang khawatir hasilnya penuh kecurangan. Ini karena beberapa saat setelah pemungutan suara, pemerintah mengumumkan pemblokiran akses internet total. Bahkan, layanan SMS juga dimatikan. Pemblokiran sendiri berlangsung selama berhari-hari.
Cina juga menerapkan cara yang sama meski banyak warga yang pada akhirnya menggunakan Virtual Private Network (VPN) agar tetap bisa mengakses media sosial. Di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir WhatsApp dan Instagram saat terjadi demonstrasi di depan gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Mei lalu.
Saat ini, ketika Papua tengah memanas, Kominfo kembali menggunakan taktik yang sama, bahkan beberapa laporan menyebut akses internet sama sekali mati. Alasan pemerintah adalah untuk menghentikan penyebaran hoaks. Tak jelas jalur legal mana yang memperbolehkan pemerintah melakukan ini.