Pendukung pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi melakukan protes di luar Pengadilan Internasional (ICJ), sebelum kedatangannya pada sidang hari kedua untuk kasus yang dilaporkan oleh Gambia terhadap Myanmar atas dugaan genosida terhadap minoritas populasi Muslim Rohingya, di Den Haag, Belanda, pada 11 Desember 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Yves Herman
Isu kudeta telah mencuat sejak pekan lalu ketika ketegangan politik melonjak. Itu terjadi setelah seorang juru bicara militer menolak untuk mengesampingkan kudeta menjelang sidang Parlemen baru pada hari Senin ini. Di sisi lain, Panglima Militer Min Aung Hlaing juga mengangkat prospek untuk mencabut Konstitusi.
Sebagai informasi, Myanmar telah mengalami dua kudeta sebelumnya sejak merdeka dari Inggris pada 1948. Kudeta pertama terjadi pada 1962 dan yang kedua pada 1988.
Daniel Russel, diplomat tertinggi Amerika Serikat (AS) untuk Asia Timur di bawah Presiden Barack Obama dan sekaligus tokoh yang telah membina hubungan dekat dengan Suu Kyi, mengatakan bahwa pengambilalihan militer baru di Myanmar akan menjadi pukulan telak bagi demokrasi di wilayah tersebut.
“Jika benar, ini adalah kemunduran besar - tidak hanya untuk demokrasi di Myanmar, tetapi untuk kepentingan AS. Ini adalah pengingat lain bahwa tidak adanya keterlibatan AS yang kredibel dan mantap di kawasan itu, telah memperkuat kekuatan anti-demokrasi,” katanya.