#Don’t_Execute: Saat Rakyat Iran Muak Hukuman Mati Kerap Jadi Solusi

Nasib tiga pemuda gerakkan satu bangsa lewat sosial media 

Teheran, IDN Times – Di era digital modern, sosial media telah banyak kali membuktikan mampu menjadi wadah bagi orang-orang dalam berbagai bidang dan kalangan, untuk menyuarakan pendapat dan pemikiran. Dalam sejumlah kasus, sebuah topik yang viral di jejaring sosial bahkan bisa menciptakan suatu gelombang kampanye aktivis yang cukup kuat hingga dapat ‘memengaruhi’ kondisi politik dan hukum di suatu negara.

Hal itu pulalah yang terjadi di Iran pada bulan Juli lalu, tatkala gerakan protes bertagar #Don’t_Execute atau jangan dieksekusi dalam bahasa Persia(# اعدام_نکنید ), telah menjadi trending topic dengan jutaan unggahan cuitan.

Tagar itu merupakan bentuk ketidaksetujuan warga Iran terhadap otoritas yang dianggap terlalu sering menyelesaikan permasalahan dengan menjadikan eksekusi sebagai solusi. Iran sendiri diketahui merupakan salah satu negara yang paling produktif dalam menjatuhkan hukuman mati. Amnesty Internasional pun melaporkan bahwa pada 2019, Iran tercatat sebagai negara kedua di dunia setelah Tiongkok yang paling banyak melakukan hukum eksekusi terhadap warganya, dengan jumlah terpidana kasus mencapai sekitar 251 orang.

1. Berawal dari penangkapan tiga pemuda yang terlibat aksi demo pemerintah 

#Don’t_Execute: Saat Rakyat Iran Muak Hukuman Mati Kerap Jadi SolusiFoto ketiga pemuda yang ditahan dan divonis eksekusi mati akibat aksi demo, November 2019. Foto: irannewsupdate.com

Pada November 2019, Iran dihadapkan pada demo besar-besaran dimana ribuan rakyat turun ke jalan dan melakukan serangkaian aksi protes setelah pemerintah memberlakukan penjatahan bahan bakar dan kenaikan harga yang gila-gilaan. Aksi demo yang berubah menjadi tidak terkendali dan brutal, dilaporkan telah merenggut begitu banyak korban, meskipun jumlah pastinya simpang siur.

Kementerian Dalam Negeri awalnya mengklaim bahwa sekitar dua ratus orang telah tewas , tetapi media Reuters menulis bahwa pasukan keamanan sebenarnya telah membunuh seribu lima ratus orang, dalam sebuah artikel yang mengutip informasi dari pejabat yang dirahasiakan. Human Rights Watch kemudian memverifikasi dengan menyebutkan jumlah yang benar adalah 304 kematian, dan ribuan pendemo lainnya ditangkap.

Diantara para pendemo, ada tiga sosok pemuda bernama Amirhossein Moradi (25 tahun), Mohammad Rajabi (25tahun), dan Saeed Tamjidi (27 tahun) yang penangkapannya paling menjadi sorotan karena dituduh sebagai dalang utama. Otoritas juga menganggap mereka telah melakukan serangkaian tindakan vandalisme selama gelombang protes berlangsung dan dinilai berbahaya. Pada saat Moradi tertangkap, Rajabi dan Tamjidi pergi ke Turki untuk meminta perlindungan, tetapi pihak Turki menolak ikut campur dan mendeportasi keduanya.

Melansir dari The National Interest, sebenarnya tidak jelas mengapa ketiganya dijatuhi hukuman karena tidak ada bukti kuat yang dapat memberatkan kasus. Babak Paknia, seorang pengacara hak asasi manusia yang menangani kasus tersebut bahkan mengatakan dalam  pesan video, bahwa satu-satunya hal yang mereka lakukan hanyalah merekam aksi protes.”Ketiga pria itu tidak menyerang siapa pun dengan senjata ataupun membakar bank," kata Pakinia.

Ketika ditahan, Moradi mengatakan bahwa dirinya kerap disiksa dengan sengatan listrik, digantung terbalik dan dipukuli hingga babak belur. Kesaksian yang sama juga diutarakan oleh dua rekannya. Akses untuk bertemu pengacara juga ditolak meskipun seharusnya ada jaminan selama tahap penyelidikan. Dan setelah berbulan-bulan ditahan, pada Juli 2020 lalu, Mahkamah Agung  pun memutuskan menjatuhkan ketiganya dengan vonis eksekusi mati.

2. Netizen Iran banjiri sosial media dengan tagar #Don’t_Execute, ciptakan gelombang langka yang belum pernah terjadi sebelumnya 

Pada tanggal 14 Juli 2020, setelah pengumuman ekseskusi diberitakan, netizen Iran pun ramai membanjiri sosial media dengan tagar # اعدام_نکنید (Jangan Eksekusi). Hanya dalam kurun waktu sangat singkat, tagar itu menguasai trending topik dan menjadi tagar berbahasa Persia paling populer di Twitter pada hari itu dengan lebih dari lima juta twit secara keseluruhan diunggah dari dalam negeri.

Media sosial Instagram dan aplikasi pesan Telegram juga  meramaikannya dengan puluhan ribu pesan dikirimkan. Mahsa Alimardani, seorang analis di organisasi hak asasi manusia bahkan menyebutkan bahwa itu adalah jumlah yang sangat besar untuk tagar (berhubungan dengan politik) di telegram dan Instagram.

Selebriti, atlet, artis, seniman, dan pembuat film pun turut serta dalam kampanye virtual, begitu pula beberapa politisi dan anggota dewan kota Shiraz Mehdi Hajati, yang pada saat kerusuhan November 2019 berlangsung, mengutuk pemerintah dengan mengatakan negaranya berada pada situasi “despotisme yang suram”. Presiden AS, Donald Trump juga mencuitkan tagar meskipun ia kemudian dikecam oleh banyak pihak, mengingat merosotnya ekonomi di Iran merupakan imbas dari sanksi yang diberlakukan oleh negaranya.

Namun, pemerintah Iran tidak tinggal diam terkait dengan kampanye virtual. Ketika postingan tidak berhenti menbanjiri media sosial, berbagai laporan tentang internet yang melambat pun seketika bermunculan. Pihak berwenang memang telah seringkali mengekang penggunaan internet ketika menghadapi konflik internal. Bahkan akses internet pernah sepenuhnya ditutup di seluruh negeri selama berhari-hari pada saat demo November 2019.

3. Sosial media telah ciptakan era baru bagi rakyat Iran untuk tidak takut mengutarakan opini 

#Don’t_Execute: Saat Rakyat Iran Muak Hukuman Mati Kerap Jadi SolusiIlustrasi bendera negara Iran. Pixabay.com/TheDigitalArtist

Tagar tersebut pada akhirnya membuat Mahkamah Agung menangguhkan vonis dan setuju untuk memeriksa ulang kasus. Untuk saat ini, nyawa Moradi, Rajabi dan Tamjidi berhasil terselamatkan dari hukum yang dinilai tidak adil. Tetapi, itu bukan berarti pemerintah berhenti sepenuhnya dalam menjatuhkan eksekusi. Usai kasus ketiga pemuda yang viral, Iran beberapa kali dilaporkan tetap menjatuhkan vonis hukuman mati bagi beberapa terpidana lainnya. "Republik Islam Iran tidak suka mundur, mereka tidak mau menerima opini publik," ujar Amin Riahi, manajer program HAM untuk Iran yang berbasis di AS.

Meski demikian, gelombang kampanye virtual itu bukan berarti sia-sia karena untuk pertama kalinya, warga Iran dinilai berani mengutarakan satu argumen politik masing-masing terhadap topik yang sama secara massal meski melalui jejaring sosial. Para pakar analis pun mengatakan bahwa ini bisa jadi merupakan pertanda sebuah era baru di Iran.

Tara Sepehri Far, peneliti Iran untuk Human Rights Watch, menggambarkan kampanye itu sebagai "koalisi langka antara masyarakat sipil dan tokoh masyarakat" yang bersatu dengan pesan yang kuat dan ringkas. "Pihak berwenang telah kehilangan kepercayaan publik yang besar selama setahun terakhir, tetapi mereka tidak dapat sepenuhnya mengabaikan perbedaan pendapat yang meluas yang berasal dari dalam negeri," katanya kepada AFP.

"Sebagian dari aparat intelijen mendorong tanggapan 'kuat' terhadap protes karena mereka, mungkin benar, khawatir tentang gelombang protes yang meluas di masa depan di seluruh negeri," ujarnya lebih lanjut.

Baca Juga: Iran: Tolong Jangan Politisasi Krisis di Lebanon

Calledasia Lakawa Photo Verified Writer Calledasia Lakawa

Broken crayons still color

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya