Cerita Influencer Nicky Clara Dideportasi dari Tibet, Apa Penyebabnya?

- Travel agent menghadapi masalah karena membagikan kaos dengan logo Free Tibet Movement kepada rombongan Nicky Clara.
- Nicky dan rombongan diinterogasi selama sembilan jam, disita ponsel, dan akhirnya dideportasi dari Tibet.
- Pihak KBRI Beijing tidak menerima laporan deportasi oleh kepolisian setempat, sementara pihak travel seharusnya bertanggung jawab atas insiden ini.
Jakarta, IDN Times - Pengalaman kurang menyenangkan dialami influencer dan disability womenpreneur, Nicky Clara saat melakukan perjalanan wisata ke Tibet. Dalam media sosialnya, Nicky menceritakan 'diusir' dari Tibet karena memakai kaos yang diberikan agen perjalanannya sebelum berangkat ke wilayah tersebut.
Kepada IDN Times, Selasa (27/5/2025), Nicky menceritakan insiden yang melibatkan interaksi dengan otoritas setempat akibat pemakaian kaos dengan logo Free Tibet Movement, yang ternyata berdampak serius bagi dirinya dan rombongan.
"Dalam rombongan itu ada 17 WNI, 1 orang warga Kanada," katanya lewat sambungan telepon.
Di media sosialnya, Nicky menjelaskan rombongan terdiri dari 17 orang lansia dan satu penyandang disabilitas. Perjalanan ini diatur sebuah travel agent dari Indonesia.
"Tour and travel ini memberikan kaos kepada para peserta. Kita diminta gunakan untuk keperluan foto nanti," ujar Nicky.
1. Perjalanan berubah tegang, tour guide diperiksa polisi
Perjalanan di hari pertama dan kedua, menurut Nicky, berjalan lancar. Ia mengatakan, tak ada kendala di dua hari perjalanan mereka.
Namun, di hari ketiga, masalah muncul. Ia menceritakan, di perjalanan menuju danau yang menjadi tempat wisata, mereka sempat berhenti untum ke kamar mandi.
“Salah satu peserta kami menyebutkan bahwa dia melihat tour guide kami berbicara dengan pria berbadan kekar dan berbaju preman,” ucap Nicky.
Mereka kemudian berjalan kembali. Sayangnya di tempat pemberhentian kedua, yakni saat membeli oksigen portable untuk wisata tujuan selanjutnya itu, bus mereka diikuti mobil SUV.
“Setelah rampung membeli oksigen sekitar 30 menit, tour guide kita naik ke mobil dengan muka agak pucat dan sedikit panik dan meminta kita take off kaos yang kita pakai ,” beber Nicky.
Nicky menjelaskan, tour guide itu sempat tiga kali bolak-balik naik ke mobil. Saat kembali yang pertama, tour guide itu mengatakan, akan berbicara dengan polisi karena mereka ingin mengecek legal dokumennya sebagai pemandu.
“Kembali yang kedua, guide itu mengatakan ‘Semuanya, maaf untuk delay ke tempat berikutnya. Polisi mau mengecek dokumen kita semua, dan jika ada foto polisi atau kantor polisi, tolong dihapus. Dan jangan ambil foto atau video di luar bus, saat saya berbicara dengan para polisi,” katanya memberi seruan.
Singkat cerita, bus Nicky dan rombongan bisa kembali berjalanan. Namun, mereka sadar tak pergi ke lokasi wisata melainkan kantor polisi.
2. Masalah serius terkait simbol politik

Kaos yang dikenakan rupanya mengandung simbol politik sensitif yang berpotensi memicu konflik dengan aparat lokal. Simbol Free Tibet Movement secara terang-terangan mendukung kemerdekaan Tibet dari pemerintahan China, dan penggunaan simbol tersebut dilarang keras di wilayah tersebut.
Karena itu, Nicky dan rombongan diperiksa dan diinterogasi hingga sembilan jam. Bahkan ponsel mereka disita dan diperiksa karena pihak berwenang meminta password ponsel.
Pada akhirnya, Nicky dan rombongan dikumpulkan dan disebut harus ‘dideportasi’ dari Tibet. Mereka keluar dari Tibet pada 24 Mei 2025, dan sempat bermalam di Chengdu selama sehari.
Namun, paspor mereka sempat ditahan, yang diperkirakan agar Nicky dan rombongan tidak bisa kabur, serta aktivitas mereka selama di Chengdu, dipantau intelijen.
Kepada IDN Times, Nicky mengaku tidak ada penjelasan lebih lanjut dari pihak travel agent soal alasan mereka membagikan kaos tersebut kepada peserta, terutama tanpa memperingatkan soal risiko politik dan keamanan yang menyertainya. Pihak travel hanya mengatakan ‘asal comot’ saja dari mesin pencari online.
3. Tak ada pemberitahuan dari polisi setempat ke KBRI Beijing
Nicky mengatakan, sebelum ponselnya disita, ia sempat buru-buru memberitahu adik dan beberapa temannya bahwa terjadi masalah dalam perjalanan itu dan ia berada di kantor polisi. Pihak keluarga Nicky kemudian berinisiatif menghubungi kenalan mereka orang KBRI Beijing.
Namun, dari keterangan Nicky, pihak KBRI Beijing mengatakan tidak menerima laporan deportasi oleh kepolisian setempat. IDN Times mengonfirmasi kepada Direktur Pelindungan WNI Kementerian Luar Negeri RI, Judha Nugraha terkait hal ini.
Judha menuturkan, masalah deportasi adalah hak dari negara yang didatangi. "Sesuai Konvensi Wina 1961, negara setempat wajib memberitahu kedutaan jika ada warganya yang ditangkap," ujar Judha lewat pesan singkat.
Dalam kasus Nicky Clara, ia dan rombongan tidak ditahan melainkan langsung dideportasi. Sehingga wajar jika perwakilan RI tidak mendapat pemberitahuan terkait deportasi, sebab tidak melalui proses penahanan.
Namun, Judha mengatakan, pihak travel seharusnya bertanggung jawab atas insiden ini. Pasalnya, deportasi adalah masalah imigrasi yang mungkin dapat berpengaruh dalam perjalanan rombongan tersebut ke depannya.
"Mereka (travel) harusnya mengecek dahulu, karena ini dapat membahayakan rombongan," ujarnya.
Meski insiden tersebut berakhir tanpa penahanan, pengalaman ini menjadi peringatan penting bagi wisatawan dan juga travel agent untuk selalu memahami sensitivitas politik dan budaya di negara yang dikunjungi, terlebih bila bepergian ke wilayah-wilayah dengan isu geopolitik yang masih aktif.
Nicky Clara dikenal sebagai sosok yang vokal dalam menyuarakan hak-hak disabilitas dan pemberdayaan perempuan, serta aktif membagikan edukasi melalui media sosial. Kejadian ini juga memperlihatkan bahwa bahkan perjalanan wisata bisa membawa risiko bila tidak dilakukan dengan kehati-hatian dan pengetahuan yang cukup.