Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Bendera Tiongkok. (Unsplash.com/Macau Photo Agency)
Bendera Tiongkok. (Unsplash.com/Macau Photo Agency)

Jakarta, IDN Times - Menteri Luar Negeri (Menlu) China, Wang Yi, menyerukan kepada negara-negara BRICS untuk mengambil tanggung jawab dan tindakan yang lebih besar untuk menjadikan blok tersebut sebagai mekanisme kerja sama multilateral jenis baru yang berbasis pada pasar negara berkembang yang lebih luas, terbuka dan inklusif.

"Kita berada di era yang kacau dan tidak menentu. Krisis Ukraina dan konflik Gaza yang berlarut-larut, tantangan seperti keamanan siber dan perubahan iklim muncul satu demi satu," kata Wang saat menghadiri Pertemuan Menlu BRICS pada Selasa (11/6/2024) di Nizhny Novgorod, Rusia.

"Negara tertentu untuk mempertahankan hegemoni unipolarnya, menggalang sekutu untuk memberikan sanksi sepihak, membangun tembok proteksionis, serta mempersenjatai langkah-langkah ekonomi dan keuangan," sambungnya, dikutip dari Xinhua.

1. BRICS menentang unilateralisme dan hegemonisme

Wang juga menuturkan bahwa kesenjangan Utara-Selatan semakin melebar, dan pemulihan ekonomi global mengalami kemunduran.

"Kebangkitan kolektif negara berkembang secara signifikan mendorong proses menuju dunia multipolar. Sebuah gelombang revolusi teknologi dan industri sedang muncul, mendorong banyak negara ke jalur pembangunan yang cepat. Global South tidak lagi menjadi mayoritas yang diam, tetapi menjadi kekuatan baru yang bangkit," ujarnya.

Sementara itu, negara-negara anggota BRICS sepakat untuk menjunjung tinggi tujuan dan prinsip-prinsip Piagam PBB, menentang unilateralisme dan hegemonisme, bersikeras untuk menyelesaikan konflik dan perbedaan melalui dialog dan konsultasi, serta mempromosikan solusi politik terhadap konflik internasional dan mencapai gencatan senjata di Gaza sesegera mungkin.

Dialog yang diselenggarakan baru-baru ini dihadiri oleh negara BRICS dan 12 negara berkembang yang memiliki pengaruh regional. Ini termasuk Thailand, Laos, Vietnam, Bangladesh, Sri Lanka, Kazakhstan, Belarus, Turki, Mauritania, Kuba, Venezuela, dan Bahrain.

Sebelumnya, BRICS beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Blok ini bertujuan menyatukan negara-negara berkembang terpenting di dunia, guna menantang dominasi Barat dalam tatanan global. Namun, kini keanggotaannya berkembang dengan Mesir, Uni Emirat Arab, Iran, dan Ethiopia bergabung pada awal tahun ini, dilansir The Straits Times.

2. AS beri sanksi ekonomi kepada China terkait perannya dalam perang Rusia-Ukraina

Ilustrasi bendera Amerika Serikat. (unsplash.com/Brandon Mowinkel)

Saat ini, banyak perusahaan China sedang menghadapi sanksi Barat, karena dituduh mendukung Rusia dalam perangnya di Ukraina. Beijing dianggap menjadi mitra penting bagi Moskow karena Rusia berusaha untuk melunakkan dampak sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lain atas perangnya dengan Kiev. China pun telah berulang kali membantah tuduhan terkait perannya memasok senjata kepada Rusia.

Pada Mei, Washington mengumumkan sanksi yang menargetkan sekitar 20 perusahaan yang berbasis di China dan Hong Kong. Salah satu di antaranya diklaim mengekspor komponen untuk pesawat tak berawak, sementara yang lain membantu Moskow melewati sanksi Barat terkait teknologi lain.

Menurut China, perdagangannya dengan Rusia tidak menjual senjata mematikan dan pihaknya secara hati-hati menangani ekspor barang-barang yang memiliki kegunaan ganda sesuai dengan hukum dan peraturan.

Analisis data bea cukai China dari lembaga pemikir Carnegie Endowment melaporkan, Beijing mengekspor lebih dari 300 juta dolar AS (sekitar Rp4,8 triliun) atas barang-barang yang memiliki kegunaan ganda, yakni memiliki aplikasi komersial dan militer ke Rusia setiap bulannya.

"Daftar tersebut mencakup apa yang telah ditetapkan AS sebagai barang prioritas tinggi, yang diperlukan untuk senjata. Mulai dari pesawat tak berawak hingga tank," kata lembaga tersebut, dikutip dari BBC.

3. Uni Eropa akan terapkan tarif baru pada kendaraan listrik China

Ilustrasi kendaraan listrik. (pexels.com/Kindel Media)

Uni Eropa (UE) berencana mengumumkan tarif untuk kendaraan listrik Beijing pekan ini, sebagai upaya melindungi produsen mobil Eropa dari apa yang disebut subsidi yang berlebihan. Hal ini pun dinilai dapat memicu perang dagang dengan Beijing, serta pembalasan dari negara itu.

Pada Oktober lalu, UE meluncurkan investigasi anti-subsidi di tengah kecurigaan bahwa membanjirnya kendaraan listrik China yang lebih murah di UE karena kelebihan kapasitas dan berkurangnya permintaan konsumen dalam negeri, The Guardian melaporkan.

Hal ini merupakan salah satu dari selusin penyelidikan yang dilakukan UE terhadap bantuan Beijing, termasuk penyelidikan terhadap ekspor panel surya, pompa panas, dan turbin angin, yang mana menurut sektor energi melemahkan UE sebesar 50 persen.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Topics

Editorial Team