Hubungi Raja Salman, Biden Bicarakan Kasus Khashoggi

AS tegaskan pentingnya menempatkan HAM dan supremasi hukum

Washington, D.C, IDN Times - Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, berbicara dengan Raja Arab Saudi, Raja Salman, pada hari Kamis, 25 Februari 2021, waktu setempat di mana Biden membicarakan masalah kasus pembunuhan terhadap Jamal Khashoggi, yang tak lain seorang jurnalis asal Arab Saudi. Pemerintahan Amerika Serikat menegaskan pentingnya menempatkan HAM universal dan supremasi hukum. Apa saja isi pembicaraan kedua pemimpin ini?

1. Presiden menilai secara positif mengenai pembebasan para aktivis Amerika Serikat-Arab Saudi

Hubungi Raja Salman, Biden Bicarakan Kasus KhashoggiPresiden Amerika Serikat, Joe Biden, bersama Wakil Presiden Amerika Serikat, Kamala Harris. (Instagram.com/whitehouse)

Dilansir dari BBC, dalam pernyataan Gedung Putih sebenarnya tidak menyebutkan secara langsung nama Jamal Khashoggi, akan tetapi pemerintah Amerika Serikat mencatat secara positif pembebasan beberapa aktivis Amerika Serikat-Arab Saudi dan Loujain al-Hathloul baru-baru ini dari tahanan serta menegaskan pentingnya Amerika Serikat menempatkan pada HAM universal dan supremasi hukum. Aktivis hak-hak perempuan Arab Saudi, Loujian al-Hathloul, dibebaskan bulan Februari 2021 ini setelah hampir 3 tahun ditahan, tetapi tetap dikenakan larangan perjalanan dan dilarang berbicara kepada media.

Biden menelepon setelah membaca laporan pemerintahan Amerika Serikat mengenai pembunuhan Jamal Khashoggi. Laporan tersebut akan segera dirilis yang diperkirakan akan melibatkan Putra Mahkota Arab Saudi, Putra Mahkota Mohammed bin Salman, dan sebelumnya di era Donald Trump, hubungan antara Amerika Serikat dengan Arab Saudi jauh lebih dekat. Di era itu juga, pemerintahan Trump menolak persyaratan hukum untuk merilis laporan dalam bentuk yang tidak diklasifikasikan, dengan fokus pada peningkatan kerjasama dengan Arab Saudi.

Orang nomor satu di Amerika Serikat ini diperkirakan akan mengambil sikap yang lebih keras pada posisi tertentu di Arab Saudi. 

2. Selama kampanye tahun 2020 lalu, Biden sempat menyebut Arab Saudi sebagai 'paria'

Hubungi Raja Salman, Biden Bicarakan Kasus KhashoggiPresiden Amerika Serikat, Joe Biden. (Instagram.com/joebiden)

Selama kampanye menjelang Pemilu Presiden Amerika Serikat 2020 lalu, Biden sempat menyebut Arab Saudi sebagai "paria" serta mengkritik catatan HAM dan intervensinya dalam perang saudara Yaman, yang telah berkontribusi pada salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Seperti yang diketahui, istilah "paria" diartikan sebagai golongan umat manusia paling rendah atau dalam kata lain, kasta terendah, serta golongan manusia terbuang. Menurut Sekretaris Gedung Putih, Jen Psaki, mengatakan maksud dari Biden ini sendiri seperti niat pemerintah untuk menyesuaikan kembali hubungan Amerika Serikat dengan Arab Saudi.

Biden sendiri mengatakan dia telah membaca laporan intelijen yang dibuat oleh Kantor Direktur Intelijen Nasional, yang mengawasi 18 badan intelijen di Amerika Serikat. Kasus pembunuhan terhadap Khashoggi di tahun 2018 lalu menggemparkan dunia, terutama Arab Saudi, di mana Khashoggi dibunuh secara tragis di Konsulat Kedutaan Besar Arab Saudi di Istanbul, Turki. Otoritas Arab Saudi menyalahkan kematiannya atas operasi jahat oleh tim agen yang dikirim untuk mengembalikannya ke Kerajaan Arab Saudi dan pengadilan Arab Saudi telah mengadili dan menghukum 5 orang pelaku dengan vonis 20 tahun penjara pada bulan September 2020 lalu, sedangkan yang lainnya mendapatkan hukuman lebih ringan.

Baca Juga: Tunangan Jamal Khashoggi Gugat Putera Mahkota Saudi atas Pembunuhan

3. Pengamat politik berpendapat bahwa mengkalibrasi ulang hubungan dengan Arab Saudi sambil terlibat dengan Iran dinilai dapat menjadi bumerang

Hubungi Raja Salman, Biden Bicarakan Kasus KhashoggiJoe Biden saat bertemu dengan Raja Arab Saudi, Raja Salman, beberapa tahun yang lalu. (Twitter.com/yonibmen)

Ketika Amerika Serikat mengkalibrasi ulang hubungan dengan Arab Saudi, pihak Gedung Putih berusaha untuk membawa rival regional Arab Saudi, Iran, kembali ke kepatuhan pada kesepakatan nuklir yang gagal setelah di era Trump, Amerika Serikat menarik diri pada tahun 2018 lalu. Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang dicapai oleh Iran dan P5+1 (Tiongkok, Prancis, Jerman, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat) di bawah pemerintahan Presiden Amerika Serikat saat itu, Barack Obama, pada tahun 2015 lalu. Menurut Duta Besar Amerika Serikat untuk Yaman di era Barack Obama, Gerald Feierstein, mengatakan bahwa mengakhiri penjualan senjata ofensif ke Arab Saudi adalah bagian dari perhitungan geopolitik yang lebih besar yang melibatkan keseimbangan dua kekuatan regional ini.

Ia juga menambahkan idealnya adalah bahwa jika ada resolusi politik dari konflik di Yaman, itu sebenarnya bisa mengurangi ketegangan di kawasan serta memungkinkan beberapa partai untuk lebih condong ke depan. Dibandingkan dengan Lebanon dan Irak, Yaman adalah prioritas keamanan nasional yang lebih rendah bagi Iran. Mengurangi ketegangan mungkin ada langkah pembangunan kepercayaan untuk mendorong Iran kembali ke pembicaraan nuklir dan pada akhirnya mengatasi masalah lain, termasuk program rudal balistik dan dukungan untuk milisi di Irak dan Lebanon.

Akibatnya menurut Feierstein, penyelarasan Biden dengan Arab Saudi di Yaman dapat membantu kepentingan Amerika Serikat lebih lanjut di wilayah tersebut. Akan tetapi, para pengamat berpendapat bahwa mengkalibrasi ulang hubungan dengan Arab Saudi serta terlibat kembali dengan Iran dinilai dapat menjadi bumerang. Menurut Direktur Senior Pusat Kekuatan Militer dan Politik di Yayasan Pertahanan Demokrasi, Bradley Bowman, mengatakan hal itu dapat menyebabkan perasaan Arab Saudi yang ditinggalkan oleh Amerika Serikat dan mendorong ke arah tindakan yang bertentangan dengan kepentingan Amerika Serikat.

Akan tetapi, menurut Direktur Kebijakan Nonproliferasi di Asosiasi Pengendalian Senjata, Kelsey Davenport, mengatakan bahwa pendekatan terbaik untuk mencegah perlombaan senjata nuklir regional adalah dengan memulihkan kepatuhan pada perjanjian nuklir JCPOA. Ia juga menilai bahwa selama beberapa tahun terakhir ini, Arab Saudi telah meletakkan dasar untuk mengembangkan senjata nuklir, jika mereka menginginkannya. 

Baca Juga: Pengadilan Saudi Hanya Jatuhkan Vonis Bui Bagi Pembunuh Khashoggi

Christ Bastian Waruwu Photo Verified Writer Christ Bastian Waruwu

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya