Para Pengungsi Rohingya Gugat Facebook 150 Miliar Dolar AS

Mereka telah menghadapi diskriminasi meluas di Myanmar

Jakarta, IDN Times - Para pengungsi Rohingya menuntut media sosial Facebook sebesar 150 miliar dolar AS atau setara dengan Rp2.161,4 triliun karena dianggap gagal membendung ujaran kebencian di platformnya. Mereka terus menghadapi ujaran diskriminasi yang meluas di Myanmar selama ini.

1. Sebuah dokumen pengadilan menyatakan Facebook seperti robot yang diprogram dengan misi tunggal 

Dilansir dari Aljazeera.com, pengaduan yang diajukan di Pengadilan California mengatakan algoritma yang menggerakkan perusahaan yang berbasis di AS itu mempromosikan disinformasi serta pemikiran ekstrem yang diterjemahkan ke dalam kekerasan di dunia nyata.

Dalam dokumen pengadilan mengatakan Facebook seperti robot yang diprogram dengan misi tunggal.

"Kenyataan yang tak terbantahkan adalah bahwa pertumbuhan Facebook, yang dipicu oleh kebencian, perpecahan, dan kesalahan informasi, telah menyebabkan ratusan ribu nyawa kaum Rohingya hancur setelahnya," ungkap pernyataan dalam dokumen tersebut yang dilansir dari Aljazeera.com.

Banyak di antara mereka tetap di Myanmar, di mana mereka tidak diizinkan kewarganegaraan dan menjadi sasaran kekerasan komunal serta diskriminasi resmi oleh milter yang merebut kekuasaan pada Februari 2021 lalu.

Pengaduan hukum berpendapat algoritma Facebook mendorong pengguna yang rentan untuk bergabung dengan kelompok yang semakin ekstrem, situasi yang terbuka untuk dieksploitasi oleh politisi dan rezim otokratis.

Pada tahun 2018 lalu, penyelidik HAM PBB juga mengatakan penggunaan Facebook telah memainkan peran kunci dalam menyebarkan ujaran kebencian yang memicu kekerasan.

Penyelidikan di tahun itu, yang dikutip dalam pengaduan AS, menemukan lebih dari 1.000 contoh posting, komentar, dan gambar yang menyerang Rohingya dan Muslim lainnya di Facebook.

Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah membuka kasus atas tuduhan kejahatan di wilayah tersebut.

Pada September 2021 lalu, seorang hakim federal AS memerintahkan Facebook untuk merilis catatan akun yang terkait dengan kekerasan anti-Rohingya di Myanmar yang telah ditutup oleh raksasa media sosial itu.

2. Pihak Facebook sebelumnya berjanji untuk meningkatkan upaya memerangi ujaran kebencian di Myanmar 

Baca Juga: Kenalan di Facebook, Gadis 16 Tahun di Serang Diperkosa 4 Pemuda  

Facebook sebelumnya telah berjanji untuk meningkatkan upayanya dalam memerangi ujaran kebencian di Myanmar, dengan mempekerjakan puluhan orang yang berbicara bahasa Myanmar.

Tetapi kelompok HAM telah lama menuduh Facebook tidak berbuat cukup untuk mencegah penyebaran disinformasi dan misinformasi online.

Kritikus mengatakan bahkan ketika diperingatkan untuk menyebarkan ujaran kebencian di platformnya, perusahaan gagal bertindak.

Mereka menuduh Facebook membiarkan berita palsu berkembang biak, mempengaruhi minoritas, dan mencondongkan Pemilu di negara-negara demokrasi seperti AS, di mana tuduhan penipuan yang tidak berdasar beredar dan meningkat di antara teman-teman yang berpikiran serupa.

Facebook belum menanggapi keluhan yang diajukan terhadap perusahaan. Pada tahun 2021 ini, kebocoran besar oleh orang dalam perusahaan memicu sebuah tulisan yang memperdebatkan Facebook tahu bahwa situasinya dapat membahayakan beberapa dari miliaran pengguna mereka, tetapi para eksekutif memilih pertumbuhan daripada keamanan.

3. Jumlah orang Rohingya yang terbunuh selama tahun 2017 lalu mencapai lebih dari 10 ribu orang 

Jumlah orang Rohingya yang terbunuh pada tahun 2017 lalu, selama operasi pembersihan militer Myanmar, kemungkinan lebih dari 10 ribu orang.

Sekitar 1 juta orang Rohingya tinggal di kamp pengungsi Cox's Bazar, di Bangladesh bagian tenggara.

Di bawah hukum AS, Facebook sebagian besar dilindungi dari kewajiban atas konten yang diposting oleh penggunanya.

Gugatan dari para pengungsi Rohingya ini, yang mengantisipasi pembelaan ini, berpendapat bahwa jika berlaku, hukum Myanmar harus berlaku dalam kasus ini.

Facebook sendiri kini berada di bawah tekanan di AS dan Eropa untuk menekan informasi palsu, terutama Pemilu dan pandemi COVID-19.

Perusahaan telah menjalin kemitraan dengan beberapa perusahaan media, termasuk kantor berita Agence France-Presse, untuk memverifikasi postingan online dan menghapus postingan yang tidak benar.

Namun terlepas dari kemitraan tersebut, ujaran kebencian dan informasi yang salah terus menyebar di situs tersebut.

Baca Juga: Uzbekistan Batasi Warga Akses Facebook hingga YouTube, Kenapa?

Christ Bastian Waruwu Photo Verified Writer Christ Bastian Waruwu

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya