Pemilu Maroko: Partai Terbesar Hanya Memeroleh 12 Kursi

Jumlah pemilih dalam Pemilu kali ini lebih dari 50 persen

Jakarta, IDN Times - Pemilu Maroko 2021 ini yang digelar pada hari Rabu, 8 September 2021, waktu setempat menghasilkan partai terbesar di Maroko, Partai Keadilan dan Pembangunan (PJD) hanya memperoleh 12 kursi yang sebelumnya berhasil meraih 125 kursi di Pemilu Maroko sebelumnya. Jumlah pemilih yang berpartisipasi pada Pemilu kali ini hanya lebih dari 50 persen saja.

1. Aturan pemungutan suara baru diperkirakan akan mempersulit partai-partai besar

Dilansir dari Aljazeera.com, berdasarkan hasil sementara yang diumumkan oleh Menteri Dalam Negeri Maroko, partai lama Maroko telah menderita kekalahan telak dari saingan liberal dalam Pemilu Maroko.

Partai Keadilan dan Pembangunan (PJD) melihat dukungannya runtuh dari 125 kursi menjadi hanya 12 kursi, jauh di belakang lawan-lawan liberal utamanya, seperti Partai Rally Nasional Independen (NRI) dan Partai Keaslian dan Modernitas (PAM), serta Partai Istiqlal (PI) yang berhaluan tengah-kanan.

Di markas Partai NRI, perayaan meletus ketika pejabat Pemilu Maroko diumumkan bahwa partai tersebut berhasil memenangkan sedikitnya 97 kursi, sejauh ini tertinggi di antara partai-partai peserta Pemilu.

Partai PAM menduduki peringkat kedua dengan perolehan 82 kursi disusul Partai PI dengan raihan 78 kursi.

Jumlah pemilih dalam Pemilu Maroko 2021 ini hanya lebih dari 50 persen, lebih tinggi dari tahun 2016 lalu.

Aturan pemungutan suara baru diperkirakan akan mempersulit partai-partai besar untuk memenangkan kursi sebanyak sebelumnya, sesuatu yang menurut para analis dapat merugikan pihak Partai PJD, yang telah menjadi partai terbesar di dua parlemen terakhir ini.

Menurut seorang profesor ilmu politik Maroko, Prof. Saloua Zerhouni, setiap pergantian penjaga tidak mungkin menandakan perubahan kebijakan besar di negara di mana Istana Kerajaan telah lama berkuasa.

Sementara itu, Maroko secara resmi merupakan monarki konstitusional, yang parlemennya tidak memiliki kekuatan untuk mengesampingkan kehendak Raja Maroko, Raja Mohammed VI.

2. Istana Kerajaan Maroko menetapkan agenda ekonomi Maroko untuk pemerintahan baru

Baca Juga: Maroko Selenggarakan Pemilu di Tengah Sikap Apatis Rakyatnya

Maroko merupakan negara monarki konstitusional di mana Raja Maroko memegang kekuasaan besar. Dia memilih Perdana Menteri dari partai yang memenangkan kursi terbanyak di parlemen dan menunjuk menteri-menteri kunci.

Istana Kerajaan Maroko juga menetapkan agenda ekonomi untuk negara berpenduduk 37 juta warga ini serta telah menugaskan model pembangunan baru yang diminta untuk diterapkan oleh pemerintah Maroko yang baru.

Konstitusi baru yang diadopsi pada tahun 2011 lalu seharusnya membawa negara lebih dekat ke sistem monarki konstitusional, tetapi itu tidak mengubah peran sentral saja.

Akibatnya, terlepas dari siapa yang memegang jabatan terpilih, keputusan besar datang dari Istana Kerajaan Maroko, termasuk selama krisis COVID-19 di Maroko.

Perdana Menteri Maroko saat ini, Saad Eddine el-Othmani, dari Partai PJD memberikan suaranya di Sale, dekat wilayah Rabat, Maroko, tetapi pertanyaan membayangi apakah ini akan menjadi yang terakhir sebagai Perdana Menteri Maroko karena perubahan dalam sistem Pemilu Maroko ini.

El-Othmani mengatakan Undang-Undang Pemilu dan reformasi diperkenalkan untuk mengurangi perolehan suara Partai PJD.

Menurut El-Othmani, partai-partai ini gagal bersaing dengan partainya melalui keterlibatan dengan rakyat dan itulah mengapa mereka bersatu untuk memperkenalkan undang-undang yang tidak mempertimbangkan suara rakyat dan malah membagi kursi dengan cara yang tidak adil.

Pemilih akan memilih 395 deputi di Parlemen Maroko dan 678 kursi di Parlemen Daerah di bawah undang-undang baru yang menghitung alokasi kursi berdasarkan jumlah pemilih terdaftar, bukan jumlah mereka yuang benar-benar memberikan suara.

Sistem Pemilu Maroko seperti itu dapat mempersulit Partai PJD yang berkuasa untuk tetap berkuasa. Meskipun jajak pendapat dilarang, para analis memperkirakan Partai PJD akan kalah dari saingannya yang lebih pro-kemapanan, Partai RNI dan Partai PAM, yang mendefinisikan diri mereka sebagai sosial demokrat.

3. Sebelumnya, ketidakpercayaan para pemilih dalam Pemilu Maroko terjadi dalam 3 edisi terakhir

Pemilu Maroko: Partai Terbesar Hanya Memeroleh 12 KursiSuasana di salah satu wilayah yang ada di Maroko. (Pixabay.com/A_Different_Perspective)

Ketidakpercayaan warga Maroko terhadap Pemilu tercermin dalam jumlah yang rendah di jajak pendapat, termasuk dalam 3 edisi Pemilu terakhir, yang rata-rata jumlah pemilih hanya mencapai angka 42 persen.

Kali ini, pembatasan pandemi COVID-19 memaksa sebagian besar kampanye secara online dengan mengasingkan banyak pemilih tanpa akses internet.

Pada bulan Maret 2021 lalu, Maroko merombak Undang-Undang Pemilu yang membuat lebih sulit bagi partai mana pun untuk memiliki keunggulan besar dalam hal jumlah kursi parlemen.

Partai terkemuka di Maroko saat ini harus membentuk pemerintahan koalisi yang menyatukan beberapa partai dengan ideologi yang berbeda.

Bagi banyak orang, langkah tersebut telah melemahkan kekuatan partai untuk memerintah serta memperkuat tangan Raja dan menyebabkan beberapa orang tidak memberikan suara sama sekali.

Di beberapa jalan di Maroko, banyak yang menunjuk pada fakta bahwa Pemilu tidak banyak berubah dalam dekade terakhir.

Presiden Moroccan Institute for Policy Analysis dan rekanan di Chatham House, Mohammed Masbah, mengatakan sementara perubahan dalam sistem Pmilu Maroko akan memungkinkan partai-partai kecil untuk mendapatkan akses ke parlemen, yang itu akan membuka jalan bagi lebih banyak perpecahan dalam politik nasional dan lokal.

Menurut Masbah, partai politik akan sangat sulit untuk mengisi koalisi dan menemukan konsensus ketika memiliki banyak partai politik, misalnya dalam memimpin kota atau pemerintahan.

Begitu juga dengan ekonomi Maroko yang saat ini mengalami tertekan adalah masalah utama lain yang harus dihadapi pemerintahan yang baru.

Sementara pandemi COVID-19 telah sangat mempengaruhi negara yang sangat bergantung pada pariwisata, para analis politik berpendapat masalah sistemik perlu ditangani.

Masbah menjelaskan masalah struktural dengan ekonomi terkait dengan tingginya tingkat pengangguran kaum muda dan korupsi perlu ditambahkan ke pandemi ini.

Baca Juga: Aljazair Memutus Hubungan Diplomatik dengan Maroko

Christ Bastian Waruwu Photo Verified Writer Christ Bastian Waruwu

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya