Masa pemerintahan Buhari diwarnai oleh krisis ekonomi terburuk di Nigeria dalam beberapa dekade, termasuk resesi. Kondisinya diperparah oleh kesehatannya yang menurun, yang membuatnya sering absen untuk menjalani perawatan medis di London.
Salah satu kebijakan ekonominya yang paling disorot adalah larangan impor beras untuk mendorong pertanian lokal. Namun, produksi dalam negeri tidak mencukupi sehingga harga satu karung beras 50 kg melonjak drastis dari 7.500 naira (sekitar Rp79 ribu) menjadi 60 ribu naira (sekitar Rp640 ribu), dilansir BBC.
Analis ekonomi, Bismarck Rewane, menilai Buhari penuh curiga terhadap kebijakan pasar bebas.
"Pada 1983, Buhari merasa ditipu ketika diminta oleh IMF untuk mendevaluasi Naira dan menghapus subsidi. Sejak saat itu, dia curiga terhadap kebijakan pasar bebas dan butuh waktu lama untuk melakukan sesuatu. Ketika dia melakukannya, dampaknya terlalu kecil, terlambat, dan tidak optimal" kata Rewane kepada CNN.
Di bidang keamanan, kekerasan justru meluas dari wilayah timur laut ke bagian lain negara. Pemerintahannya harus menghadapi serangan dari kelompok bandit bersenjata di barat laut dan kelompok separatis di tenggara, dilansir Strait Times.