Dengan sebagian besar media Turki yang berada di bawah kendali pemerintah, aktivis dan politisi oposisi sebagian besar lari ke jalur media sosial untuk menyuarakan pendapatnya yang berbeda. Tapi dengan serangkaian upaya pemerintah Turki melakukan batasan media sosial, maka jalur menyuarakan perbedaan pendapat itu semakin memudar.
Banyak aktivis dan politisi oposisi sebelumnya yang menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, YouTube dan platform lain untuk memobilisasi pendukung dan menyuarakan kritik terhadap pemerintah.
Pada bulan September lalu, dilansir Deutsche Welle, pakar komunikasi Partai Rakyat Republik Turki (CHP), Mustafa Adiguzel mengatakan "mereka (pemerintah) terus mengatakan: 'Anak Anda atau pasangan Anda bisa jadi korban berita palsu," katanya. Dia menunjukkan bahwa masalah utamanya adalah pihak pemerintahlah yang dapat memutuskan apa yang palsu atau tidak.
Adiguzel saat itu mengatakan "kata-kata Presiden Erdogan seringkali merupakan disinformasi yang paling murni. Akankah mereka juga mencegah pernyataan seperti itu?"
Partai AK yang berkuasa di Turki menjelaskan bahwa peraturan untuk media sosial di Turki disebut tidak untuk membatasi kebebasan berpikir dan berpendapat. Menteri Kehakiman Abdulhamit Gul mengatakan "Partai AK tidak akan pernah mengizinkan penyensoran, apa pun untuk menghapus kritik dan kebebasan berekspresi."
Menurut penjelasannya yang dikutip Hurriyet, Gul mengatakan bahwa kritik bukan kejahatan. Tapi kritik dan hinaan itu berbeda. "Ini (aturan) adalah pengadilan yang akan mengevaluasi (masalah tersebut)."