Addis Ababa, IDN Times – Puluhan pekerja konstruksi sibuk membangun di komplek Imperial Palace, yang juga dikenal dengan Menelik Palace, di kota Addis Ababa, Selasa (30/4/2019). Tharmat, seorang sejarahwan yang memandu delegasi peserta World Press Freedom Day 2019, menjelaskan proses renovasi maupun pembangunan yang sedang dilakukan di komplek Istana yang digunakan pula sebagai kantor dan kediaman Perdana Menteri di Republik Demokratik Federal Ethiopia.
Menelik adalah kaisar pertama Ethiopia dari keturunan Yahudi. Dia membangun dinasti Solomon. Komplek kekaisaran itu dijaga ketat. Pengunjung tidak diperkenankan membawa kamera, jadi tidak boleh memotret.
“Bertahun-tahun saya menjadi jurnalis, menulis tentang perdana menteri, tapi kami tidak diperkenankan masuk ke sini,” kata Helen, yang menemani kami. Helen kini bekerja di kantor informasi Perdana Menteri (PM) Abiy Ahmed.
PM Abiy menjabat PM sejak 2 April 2018, dan menjadi PM ketiga untuk negeri dengan sekitar 3 juta penduduk itu. Di bawah kepemimpinan PM Abiy, kemerdekaan pers mendapatkan angin segar.
Sebelumnya, Ethiopia adalah salah satu negara yang paling banyak memenjarakan jurnalis. Hampir semua jurnalis yang ditangkap, bukan dengan alasan kerja jurnalistiknya. Sebagian dituduh sebagai teroris. PM Abiy membebaskan semua tahanan politik, aktivis dan jurnalis yang ditahan akibat aturan yang banyak menuai kritik pegiat hak asasi manusia (HAM).
Ethiopia dikenal sebagai ibu kota politik Afrika. Di Addis Ababa, ada kantor pusat Komisi Uni Afrika. Kombinasi letak strategis Ethiopia dan janji kemerdekaan berekspresi yang ditunjukkan PM Abiy, membuat organisasi PBB yang membawahi soal pers, UNESCO, memilih Addis Ababa sebagai lokasi peringatan global World Press Freedom Day 2019.
Tema World Press Freedom Day 2019 adalah “Media for Demokrasi: Journalism and Elections in Time of Discrimination”. Acara diadakan tanggal 1-3 Mei 2019. Kali ini lokasi acara di markas pusat Komisi Uni Afrika.
Sekitar 1.000 - 1.500 jurnalis dan praktisi media yang datang dari berbagai negara akan membahas tantangan yang dihadapi jurnalis dalam meliput pemilihan umum di negaranya, bersamaan dengan potensi media mendukung perdamaian dan proses rekonsiliasi.