Pasokan Medis Terbatas, Nyawa Pasien Ginjal di Gaza Terancam

Lebih dari seribu orang di Gaza memerlukan cuci darah

Jakarta, IDN Times - Warga Jalur Gaza yang menderita gagal ginjal harus berjuang bertahan hidup akibat kurangnya obat-obatan dan peralatan penyelamat jiwa. Pemboman dan blokade yang dilakukan Israel selama dua bulan terakhir telah menghambat sistem kesehatan di wilayah Palestina tersebut.

Di Rumah Sakit Martir Al Aqsa, yang berlokasi di Deir El Balah di Gaza tengah, para dokter mengatakan peralatan penting yang dibutuhkan untuk mesin dialisis atau cuci darah hanya cukup untuk seminggu lagi.

“Kami kehabisan filter dan tabung yang harus diganti untuk setiap pasien. Kami punya cukup uang untuk satu minggu lagi, setelah itu, kami akan menghubungi Kementerian Kesehatan untuk menyediakan lebih banyak filter dan kebutuhan lain bagi pasien,” kata Mohamed Naqla, dokter spesialis nefrotik di unit dialisis, kepada The National.

Bulan lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyerukan bantuan kemanusiaan segera untuk membantu pasien yang menderita penyakit kronis di Jalur Gaza.

Diperkirakan lebih dari seribu orang memerlukan dialisis ginjal, dan lebih dari 2 ribu lainnya menjalani pengobatan kanker di wilayah tersebut. Selain itu, sekitar 45 ribu orang menderita penyakit kardiovaskular, sementara lebih dari 60 ribu lainnya menderita diabetes.

1. Pasien alami komplikasi karena tidak dapat melakukan cuci darah secara teratur

Mohammed Abou Safar, warga Deir El Balah, telah menjalani dialisis selama 7 tahun di Rumah Sakit Martir Al Aqsa. Dia mengatakan, minimnya stok filter dan tabung telah menyebabkan dia tidak dapat menerima perawatan yang dibutuhkan.

“Ini melelahkan bagi saya. Filter atau tabung untuk mesin dialisis tidak mencukupi. Hal ini menyebabkan komplikasi pada saya, kaki saya lemas, saya tidak bisa berjalan, dan sakit kepala parah terus-menerus,” kata pria 33 tahun tersebut.

Shifa Abou Rabih, yang berusia 53 tahun, telah menjadi pasien cuci darah selama dua tahun terakhir. Dia mengungsi dari utara Gaza dan kini menjalani perawatan di Rumah Sakit Martir Al Aqsa.

“Saya mengalami komplikasi karena tidak bisa melakukan cuci darah secara teratur. Dulunya saya menjalani cuci darah empat jam dalam seminggu, sekarang menjadi dua jam. Saya lelah," ujar Abou Rabih.

Dengan 20 mesin dialisis yang tersedia untuk orang dewasa dan satu anak-anak, rumah sakit tersebut hanya mampu mengalokasikan dua jam dialisis untuk setiap pasien dalam sehari.

“Dulu kami punya 150 pasien yang merupakan warga Deir El Balah. Setelah tanggal 7 Oktober dan invasi darat, jumlah pasien yang mengungsi dari utara meningkat secara signifikan menjadi 450 pasien di Rumah Sakit Martir Al Aqsa. Kami juga memiliki 10-15 anak yang menerima dialisis,” kata Naqla.

Baca Juga: Dilanda Kelaparan, Warga Gaza Jarah Truk Bantuan di Rafah

2. Beberapa pasien meninggal akibat situasi sulit

Pekan lalu, Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza telah meminta organisasi internasional untuk memberikan bantuan medis, termasuk obat-obatan penting, peralatan medis, dan bahan bakar. Mereka mengatakan rumah sakit di wilayah selatan telah melebihi kapasitas dan tim medis kewalahan menghadapi jumlah pasien yang masuk.

Konflik yang berlangsung antara Israel dan Hamas di Gaza telah mengakibatkan fasilitas medis kesulitan mendapatkan pasokan yang diperlukan dari wilayah selatan, sementara pasien tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan di wilayah lain.

“Hal ini sangat berdampak pada pekerjaan kami karena gudang Kementerian Kesehatan terletak di selatan, sehingga mengurangi pasokan yang kami terima dan kami minta dari selatan,” jelas Naqla.

Dia menambahkan, sebelum konflik terbaru ini dimulai, pasien menerima tiga sesi dialisis empat jam dalam seminggu. Sekarang, mereka hanya dapat menerima tiga sesi dua jam seminggu.

“Semua pasien yang mengungsi dari utara tiba di sini dalam keadaan yang sangat sulit. Beberapa pasien tidak menjalani cuci darah selama 20 hari dan mengalami koma karena penumpukan racun dalam darah mereka. Beberapa pasien tidak dapat menahan tekanan perjalanan dari utara dan meninggal. Korban meninggal sebagian besar adalah lansia," kata Naqla.

3. Pasien menggantungkan hidupnya pada cuci darah

Anssam, anak perempuan berusia 12 tahun, telah melewati 15 hari tanpa cuci darah. Ditemani ibu dan kakak perempuannya, ia pergi dari Jabaliya di Gaza utara ke Deir El Balah untuk mendapatkan perawatan.

“Saya berharap perang ini berakhir dan kami kembali ke keadaan semula, bahagia dan bermain, dan kembali melakukan dialisis tiga kali seminggu. Sekarang, tanpa filter, saya tidak bisa menjalani cuci darah sehingga saya akan mati. Hidup saya bergantung pada cuci darah,” ujar Ansaam.

Kakak perempuan Anssam, Doaa, mengatakan bahwa mereka tinggal di tenda di halaman rumah sakit bersama tiga keluarga lainnya selama sebulan terakhir.

“Situasi kami sangat tragis. Kami terpaksa mengungsi dan adik saya juga seorang pasien. Kami kekurangan makanan yang merupakan nutrisi penting baginya, ia juga membutuhkan protein. Suntikan proteinnya tidak lagi tersedia. Dia biasanya mendapat tiga suntikan dalam seminggu dan sekarang hanya mendapat satu suntikan,” kata Doaa.

Baca Juga: Jalanan di Gaza Menjelma Menjadi Hamparan Kuburan Darurat

Fatimah Photo Verified Writer Fatimah

Long life learner

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya