Penolakan Israel terhadap Solusi Dua Negara Ancam Perdamaian Dunia

Pembentukan negara Palestina harus didukung semua pihak

Jakarta IDN Times - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Antonio Guterres, memperingatkan penolakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terhadap solusi dua negara akan memperpanjang konflik yang mengancam perdamaian global, dan memperkuat ekstremis di mana pun.

"Hak rakyat Palestina untuk membangun negara mereka sendiri yang merdeka sepenuhnya harus diakui oleh semua pihak, dan penolakan pihak mana pun untuk menerima solusi dua negara harus ditolak dengan tegas," kata Guterres pada pertemuan Dewan Keamanan PBB mengenai perang Israel-Hamas pada Selasa (23/1/2024), dikutip Associated Press.

"Alternatif solusi satu negara dengan begitu banyak warga Palestina di dalamnya tanpa rasa kebebasan, hak dan martabat yang nyata tidak dapat dibayangkan."

Ia menambahkan, risiko eskalasi konflik regional mulai menjadi kenyataan, merujuk pada Lebanon, Yaman, Suriah, Irak, dan Pakistan. Dia pun mendesak semua pihak untuk mundur dan mempertimbangkan dampak buruk dari perang yang meluas.

1. Israel tolak usulan AS membentuk negara Palestina yang merdeka

Penolakan Netanyahu terhadap negara Palestina telah memicu perpecahan dengan Amerika Serikat (AS), yang mengusulkan solusi dua negara, di mana Israel dan Palestina dapat hidup berdampingan dengan damai. Tujuan tersebut didukung oleh negara-negara di seluruh dunia, seperti yang ditegaskan kembali oleh para menteri dan duta besar pada Selasa.

Uzra Zeya, wakil sekretaris Departemen Luar Negeri untuk keamanan sipil, demokrasi dan hak asasi manusia, mengatakan komponen utama diplomasi AS adalah mengejar jalan menuju negara Palestina dan normalisasi serta integrasi antara Israel dan negara-negara regional lainnya.

“Tujuannya adalah masa depan di mana Gaza tidak lagi digunakan sebagai platform teror, dan masa depan di mana orang-orang Palestina memiliki negaranya sendiri,” katanya.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyebut diplomasi AS terombang-ambing antara memveto resolusi gencatan senjata, dan pada saat yang sama menyerukan pengurangan intensitas kekerasan di Gaza.

“Tidak diragukan lagi ini merupakan tanggung jawab penuh atas hukuman kolektif yang sedang berlangsung terhadap warga Palestina,” ujar Lavrov kepada dewan.

Baca Juga: Menlu Retno Kembali Cecar DK PBB soal Kondisi Gaza 

2. Israel tolak gencatan senjata dengan alasan Hamas

Dalam kesempatan tersebut, Guterres mengulangi seruan untuk melakukan gencatan senjata kemanusiaan di Gaza. Namun, Duta Besar Israel untuk PBB Gilad Erdan menolaknya, dengan mengatakan bahwa Hamas akan kembali menyerang dan menghancurkan Israel.

Erdan juga mengkritik keras kehadiran Menteri Luar Negeri Iran pada pertemuan dewan tersebut. Ia mengatakan bahwa negara tersebut telah membantu memberikan senjata kepada Hamas, pejuang Hizbullah di Lebanon dan Houthi di Yaman.

“Dan nantinya, tindakan ini akan dilakukan di bawah payung nuklir teror Iran akan menjangkau Anda semua," ujarnya.

Iran sendiri telah membantah mereka berupaya membuat senjata nuklir, dan menegaskan bahwa program nuklir mereka sepenuhnya untuk tujuan damai. Namun, pengawas nuklir PBB mengatakan bahwa Iran memiliki cukup uranium yang diperkaya untuk membuat bom nuklir jika negara itu menginginkannya.

Tanpa menanggapi program nuklir Teheran, Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian memperingatkan Israel bahwa mereka tidak akan dapat menghancurkan Hamas, yang merupakan tujuan mereka.

“Pembunuhan warga sipil di Gaza dan Tepi Barat tidak bisa berlanjut hingga kehancuran total Hamas, karena saat itu tidak akan pernah tiba. Menghentikan genosida di Gaza adalah kunci utama keamanan di wilayah tersebut," kata Amirabdollahian.

3. Palestina sebut Israel lakukan pengeboman paling biadab sejak Perang Dunia II

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki mengatakan bahwa Israel telah melakukan serangkaian pengeboman paling biadab sejak Perang Dunia II, yang menyebabkan kelaparan dan pengungsian warga sipil besar-besaran.

Menurut data Kementerian Kesehatan di Gaza, lebih dari 25 ribu warga Palestina telah terbunuh sejak perang meletus lebih dari tiga bulan lalu. Sekitar 85 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza telah mengungsi, dan seperempat di antaranya kini menghadapi kelaparan.

Israel memulai operasi militernya sebagai tanggapan atas serangan lintas batas Hamas pada 7 Oktober, yang menewaskan sekitar 1.200 orang di Israel dan menyandera sekitar 250 lainnya.

Al-Maliki mengatakan, Israel tidak melihat orang-orang Palestina sebagai sebuah bangsa, melainkan sebagai ancaman demografis yang harus dihilangkan melalui kematian, pengungsian atau penaklukan.

Menurutnya, hanya ada dua jalan di masa depan, yang pertama dimulai dengan kebebasan Palestina dan mengarah pada perdamaian dan keamanan Timur Tengah. Kedua adalah penolakan terhadap kebebasan yang akan menyebabkan pertumpahan darah lebih lanjut dan konflik tanpa akhir.

Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi mengatakan, ideologi kebencian yang dianut secara terbuka oleh para menteri Israel telah menormalisasi pembunuhan massal terhadap warga Palestina. Ia pun mendesak dewan untuk menghentikan perang tersebut dengan resolusi yang mengikat.

“Masa depan kawasan ini tidak bisa tersandera oleh ambisi politik dan agenda radikal ekstremis Israel yang menggambarkan orang-orang Palestina sebagai manusia yang tidak layak hidup, yang memungkinkan terjadinya terorisme pemukim terhadap rakyat Palestina," katanya, seraya menyerukan Israel harus bertanggung jawab atas kejahatan perang.

Baca Juga: AS Sebut Arab Saudi Terlihat Positif soal Normalisasi dengan Israel 

Fatimah Photo Verified Writer Fatimah

Long life learner

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya