Pada bulan Juni, sebuah laporan toksikologi terhadap sampel darah dan urin Floyd menunjukkan bahwa ada kandungan Fentanyl dan metamfetamin yang telah bermetabolisme. Overdosis dalam skala lebih kecil mungkin bisa jadi penyebab kematiannya.
Dalam gelar persidangan di pengadilan pada hari Kamis, Dr. Tobin berpendapat obat-obatan tersebut bukan penyebab Floyd meninggal. Lutut Chauvin yang menindih leher Floyd selama tiga menit 27 detik adalah salah satu sebabnya Floyd kekurangan oksigen dan meninggal.
Saksi ahli lain yang bernama Dr. Bill Smock, seorang ahli kematian akibat asfiksia (kondisi ketika kadar oksigen di dalam tubuh berkurang) mendukung pendapat Dr. Tobin. Melansir dari laman Associated Press, Dr. Smock mengatakan "itu bukan overdosis Fentanyl. Itu karena seseorang yang memohon untuk bernafas."
Menurut penjelasan yang disampaikan oleh Dr. Tobin, orang yang sehat dan dalam posisi seperti Floyd (diborgol dan ditindih lehernya dengan lutut), "akan mati," katanya seperti dilansir dari laman Al Jazeera.
Dalam video detik-detik ketika Floyd ditindih lehernya dengan lutut menunjukkan bahwa pria Afro-Amerika itu menangis, memohon dan berteriak karena tidak bisa bernafas.
Floyd kemudian dilarikan ke ruang gawat darurat rumah sakit. Di sana, setelah diperiksa kadar karbon dioksida dalam darah menunjukkan Floyd tidak bernapas hampir 10 menit sebelum paramedis memberikan pernapasan buatan. Analisa tersebut berlawanan dengan pernapasan yang ditekan oleh obat bernama Fentanyl.
Selama lima menit pertama Floyd telungkup, dia masih bisa mendapat oksigen cukup untuk menjaga otaknya tetap hidup. Akan tetapi setelah itu, kekurangan oksigen membuat otak Floyd mengalami kerusakan dan semakin kekurangan oksigen, Floyd meninggal.
Kematian Floyd menimbulkan protes yang dahsyat dan meluas di berbagai kota besar dan kota kecil di AS. Bahkan protes tersebut juga menular ke berbagai negara lain, memprotes tindakan rasialisme dan brutalitas polisi kulit putih terhadap komunitas kulit hitam.