ANTARA FOTO/REUTERS/Soe Zeya Tun
Banjir sampah plastik dan elektronik di ASEAN bermula pada 2018 di Cina. Beijing menyetop hampir seluruh impor sampah-sampah tersebut dari berbagai negara maju. Tujuannya adalah untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup dan kualitas udara di sana. Menurut pakar, ini membuat negara-negara maju yang selama ini mengeskpor sampah mereka ke Cina kebingungan.
"Rasanya seperti ada gempa bumi," ujar Direktur Jenderal Biro Daur Ulang Internasional asal Brussels, Arnaud Brunet, kepada South China Morning Post. "Cina dulu jadi pasar terbesar untuk daur ulang. Keputusannya menciptakan kejutan besar di pasar global." Akhirnya, negara seperti Thailand dan Malaysia berebut menjadi pengganti.
Pelaku impor sampah Cina pun merelokasi bisnis mereka ke ASEAN. Namun, prosesnya tidak mulus. Bukan hanya karena industri ini relatif baru di ASEAN, tapi juga disebabkan oleh tidak adanya manajemen sampah yang memadai. Greenpeace pun meminta pemerintah negara maju ikut bertindak.
Salah satunya untuk memaksa raksasa manufaktur menggunakan lebih sedikit plastik. Aktivis Greenpeace Jerman, Santen, berkata kepada Deustche Welle,"Perusahaan seperti Nestle atau Unilever membanjiri Asia Tenggara dengan apa yang disebut sebagai rasio produk harian, memakai kantong sekali pakai--menyadari bahwa tak ada pembuangan sampah yang tepat."