Ogah Tampung di Hotel, Inggris Akan Kirim Pencari Suaka ke Rwanda

Berikut pro-kontra seputar kebijakan ini

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Inggris berencana mengirim pencari suaka ke Rwanda agar mereka menetap di sana, sambil menanti keputusan suaka dari pemerintah.

Untuk menjalankan program ini Menteri Dalam Negeri Inggris, Priti Patel, pada Rabu (13/4/2022) melakukan perjalanan ke Rwanda untuk menandatangani kesepakatan kemitraan migrasi dan pembangunan ekonomi.

1. Johnson menyampaikan kebijakan tersebut untuk mengendalikan imigrasi

Ogah Tampung di Hotel, Inggris Akan Kirim Pencari Suaka ke RwandaPerdana Menteri Inggris Raya, Boris Johnson. (Twitter.com/Boris Johnson)

Melansir Sky News, Perdana Menteri Boris Johnson berpendapat bahwa program ini untuk mengendalikan kebijakan imigrasi setelah Brexit. Johnson juga mengaku bahwa kebijakan ini adalah bentuk belas kasih Inggris kepada para pencari suaka, tapi kemampuan Inggris juga terbatas. 

"Jadi seperti halnya Brexit yang mengizinkan kami untuk mengambil kembali kendali imigrasi legal dengan mengganti pergerakan bebas dengan sistem berbasis poin kami, kami juga mengambil kembali kendali atas imigrasi ilegal, dengan rencana suaka jangka panjang di negara ini," kata Johnson.

Pemimpin Inggris ini juga berpendapat, rencana ini akan membuat negaranya memiliki klaim suaka terbaik di dunia untuk mereka yang mencari tempat perlindungan.

Johnson menyampaikan keputusan ini juga untuk menghentikan penyelundup yang memanfaatkan orang-orang yang rentan untuk melintasi rute selat yang berbahaya.

Johnson dikabarkan, dia menerima laporan kemungkinan soal orang yang melintasi Selat Inggris bisa mencapai seribu orang per hari. Pada Rabu, dilaporkan ada sekitar 600 orang tiba di Inggris dengan melintasi selat.

Belum ada kejelasan apakah aturan baru ini hanya akan berlaku bagi mereka yang datang dengan cara ilegal. Menteri Pengungsi, Richard Harrington, menduga bahwa kebijakan ini tidak akan berjalan mulus. 

Rincian lebih lanjut mengenai kebijakan ini akan disampaikan Johnson dalam pidato pada Kamis dan Patel diharapkan juga akan menjelaskan setelah kunjungan ke Rwanda.

Baca Juga: PM Inggris Didenda karena Langgar Aturan COVID yang Dia Buat Sendiri

2. Kebijakan dianggap tidak tepat dan biaya terlalu besar

Melansir The Guardian, Menteri Dalam Negeri Bayangan, Yvette Cooper, menyebut kebijakan memindahkan pencari suaka adalah tindakan yang tidak etis. Kebijakan itu juga akan mempersulit mereka untuk memperoleh suaka yang cepat dan adil.

Cooper juga menyinggung soal kebutuhan biaya yang terlalu tinggi untuk memindahkan pencari suaka, dan justru akan merugikan rakyat di tengah kondisi ekonomi negara yang sulit. 

Organisasi PBB yang mengurusi pengungsi, UNHCR, mengatakan sedang memantau kebijakan tersebut. Tapi organisasi itu telah menyatakan tidak mendukung tindakan yang mengirim pencari suaka dan pengungsi ke negara yang bukan dituju.

Merespons tindakan pemerintah, Enver Solomon, kepala eksekutif Dewan Pengungsi, mengatakakan bahwa kebijakan yang diambil ini tidak tepat dan tidak menghentikan orang untuk melakukan perjalanan berbahaya, dan dia juga menyinggung biaya besar diperlukan dalam program tersebut. Karena itu, Solomon meminta Inggris untuk meninjau kembali kebijakan ini.

Kesepakatan dengan Rwanda ini dilaporkan akan membuat Inggris mengeluarkan biaya awal sebesar 120 juta pound sterling (Rp2,2 triliun). Beberapa negara yang juga menjadi pertimbangan adalah Albania, Ghana, dan Gibraltar, tapi tidak tercapai kesepakatan.

Andrew Mitchell, anggota parlemen senior, mengigatkan langkah itu dapat menelan biaya hingga 2 juta pound sterling (Rp37,7 miliar) untuk setiap pencari suaka, dianggapnya lebih mahal daripada menempatkan di Ritz hotel.

Australia, yang memiliki kebijakan serupa yang mengirim pencari suaka ke Nauru dan Papua Nugini, dilaporkan menghabiskan banyak biaya untuk program ini. Tahun lalu Australia menghabiskan 461 juta pound sterling (Rp8,6 triliun) untuk memproses 239 pengungsi dan pencari suaka yang ditahan di lepas pantai.

3. Ada kekhawatiran pencari suaka mendapat perlakuan buruk

Melansir dari The independent, mereka yang menentang kebijakan ini mengigatkan ancaman para pencari suaka mendapat perilaku buruk di Rwanda, termasuk para pencari suaka LGBT. 

Laporan Human Rights Watch tahun lalu, otoritas Rwanda melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap gay dan transgender. Laporan Human Rights Watch pada 2020 juga menunjukkan para tahanan di Rwanda ada yang mengalami penyiksaan di fasilitas resmi dan tidak resmi.

Sonya Sceats, kepala eksekutif dari Freedom from Torture, sebuah organisasi yang membantu penyintas penyiksaan, meminta rencana itu dibatalkan. Dia memberitahu bahwa organisasinya banyak membantu penyintas penyiksaan dari Rwanda.

Sceats juga memberitahu kebijakan serupa yang dibuat Australia sering terjadi pelanggaran hak asasi manusia, berupa pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak-anak.

Baca Juga: Jelang Pemilu Australia, Morrison: Jangan Pilih Oposisi, Belum Teruji

Ifan Wijaya Photo Verified Writer Ifan Wijaya

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya