Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
COP29 di Baku, Azerbaijan. (unsplash.com/mtenbruggencate)
COP29 di Baku, Azerbaijan. (unsplash.com/mtenbruggencate)

Jakarta, IDN Times - Tiga dari lima kelompok penelitian terkemuka memastikan target pembatasan kenaikan suhu global di angka 1,5 derajat Celcius tidak akan tercapai. Tahun 2024 diprediksi akan menjadi tahun pertama yang melampaui ambang batas tersebut, sekaligus mencatatkan diri sebagai tahun terpanas dalam sejarah.

"Target untuk menghindari kenaikan suhu melebihi 1,5 derajat Celcius sudah benar-benar mati. Hampir mustahil dihindari karena kita terlalu lama menunggu untuk bertindak," ujar Zeke Hausfather, ilmuwan iklim dari Berkeley Earth, dikutip dari The Guardian,  Selasa (19/11/2024)

Pernyataan ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa satu dekade terakhir tercatat sebagai periode terpanas yang pernah dicatat dalam sejarah.

1. Suhu bumi di 2023 mencapai rekor tertinggi 1,49 derajat Celcius

Tahun 2023 mencatatkan kenaikan suhu yang sangat mengejutkan hingga membuat para ilmuwan klimatologi melakukan evaluasi mendalam. Ilmuwan menemukan bahwa pada akhir 2023, suhu bumi telah mencapai 1,49 derajat Celcius lebih panas dibanding era praindustri.

"Kita sedang melaju melewati batas 1,5 derajat dengan akselerasi yang mengkhawatirkan, dan ini akan terus berlanjut sampai emisi global berhenti meningkat," ujar Hausfather.

Meski negara-negara telah berkomitmen beralih dari bahan bakar fosil, tahun ini justru diprediksi akan mencatatkan rekor baru emisi gas rumah kaca. Dilansir dari Bloomberg, jika hanya mengandalkan komitmen negara-negara saat ini, suhu bumi bisa naik hingga 2,7 derajat Celcius

Sofia Gonzales-Zuñiga, analis dari Climate Analytics, juga menyatakan dunia telah gagal mengendalikan laju pemanasan global. Sementara, Program Lingkungan PBB (UNEP) memperkirakan suhu bumi bisa meningkat hingga 3,1 derajat Celcius pada akhir abad ini jika tidak ada perubahan signifikan.

2. Target 1,5 derajat Celcius hanya jadi retorika

ilustrasi kebakaran. (unsplash.com/ Michael Held)

Target 1,5 derajat Celcius kini hanya menjadi retorika politik, bukan lagi target yang secara ilmiah dapat dicapai. Pencapaian target ini dinilai hanya mungkin terwujud jika ada teknologi penghapusan karbon massal yang hingga kini belum terbukti efektivitasnya.

"Saya tidak pernah berpikir 1,5 derajat adalah target yang masuk akal. Saya pikir itu hal yang sia-sia," ungkap Gavin Schmidt, ilmuwan iklim NASA.

Namun, target ini tetap digunakan karena terbukti efektif dalam menggerakkan aksi pengendalian perubahan iklim.

Melansir dari Bloomberg, Menteri Samoa yang memimpin Aliansi Negara Kepulauan Kecil (AOSIS), Cedric Schuster, optimistis target 1,5 derajat masih mungkin dicapai. Menurutnya, hal ini bisa terwujud jika semua negara mengambil langkah yang tepat dan ambisius.

Laporan IPCC 2018 menunjukkan kenaikan suhu dari 1,5 ke 2 derajat Celcius akan membawa dampak drastis bagi bumi. Di angka kenaikan suhu 2 derajat, diperkirakan akan lebih banyak gelombang panas ekstrem dan kenaikan permukaan laut yang lebih tinggi dibanding 1,5 derajat.

3. Dunia di ambang titik kritis perubahan iklim yang tak bisa dipulihkan

Ilustrasi kebakaran hutan. (unsplash.com/Caleb Cook)

Para ilmuwan khawatir munculnya titik kritis iklim yang tak bisa dipulihkan. Misalnya, hutan Amazon yang berubah menjadi savana dan mencairnya lapisan es kutub secara masif.

"Kita semakin mendekati titik kritis dalam sistem iklim yang tidak akan bisa kita kembalikan. Seperti monster dalam kegelapan, kita tidak tahu kapan akan muncul," jelas Grahame Madge, juru bicara iklim UK Met Office.

Di tengah situasi genting ini, mayoritas pemimpin ekonomi besar absen dari KTT COP29 karena sibuk dengan urusan politik domestik. Climate Action Tracker melaporkan sangat sedikit negara dengan emisi tinggi yang memiliki kebijakan selaras dengan target pengendalian suhu global.

Meski demikian, masih ada secercah harapan dengan pesatnya perkembangan energi bersih yang semakin terjangkau. Para ahli menyatakan pentingnya fokus pada pengurangan emisi dan membatasi pemanasan serendah mungkin.

Perdana Menteri Belgia, Alexander De Croo, mengakui meski KTT iklim sering dianggap sekadar ajang diskusi dengan negosiasi yang tidak sempurna. Namun, ia menekankan bahwa kebijakan iklim saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan satu dekade lalu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorLeo Manik