Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pembiayan Iklim Negara Berkembang Capai Rp31,6 Kuadriliun di 2030

Pelaksanaan KTT COP-29 di Baku, Azerbaijan, pada Selasa 12 November 2024. (x.com/@COP29_AZ)

Jakarta, IDN Times – Pembiayan iklim untuk negara berpenghasilan rendah dan menengah menjadi salah satu isu yang dibahas dalam Konferensi Iklim PBB atau COP-29 di Baku, Azerbaijan. Kebutuhan pembiayaan iklim negara-negara tersebut diproyeksikan melebihi 2 triliun (Rp31,6 kuadriliun) per tahun pada 2030.

Harry Boyd Carpenter, direktur pelaksana ekonomi hijau dan aksi iklim di Bank Eropa untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (EBRD), mengatakan bahwa prioritas di COP-29 adalah menyepakati struktur kerangka kerja untuk pendanaan iklim di bawah Tujuan Kuantifikasi Kolektif Baru (NCQG), dengan bank pembangunan internasional yang memainkan peran penting.

“Tidak termasuk China, negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah membutuhkan 2,4 triliun dolar per tahun pada tahun 2030,” kata Carpenter, dilansir Anadolu Agency.

1. Beberapa negara seringkali tak terjangkau pendanaan

Carpenter mengatakan bahwa meskipun pendanaan tersedia, seringkali tidak menjangkau area yang dibutuhkan karena kurangnya rencana untuk mengatasi perubahan iklim, kurangnya rencana investasi, dan sistem regulasi yang tidak memadai di beberapa negara. Ketidakstabilan ekonomi juga menghambat investasi.

“Negara-negara yang beralih ke arah hijau akan memiliki ekonomi yang lebih stabil, akan memiliki energi berbiaya rendah. Namun dalam jangka pendek, Anda harus mengeluarkan banyak uang karena investasi hijau membutuhkan banyak modal, dan itu menciptakan hambatan keterjangkauan,” katanya.

Ia memastikan bahwa untuk melakukan pendanaan tersebut, mereka membutuhkan lebih banyak dana hibah dan konsesi, dan itu harus mengalir dari negara-negara maju.

Carpenter juga mengatakab bahwa penyediaan pembiayaan akan lebih mudah jika negara-negara berkembang menetapkan target iklim yang ambisius, yang menurutnya merupakan hal yang bijaksana secara ekonomi untuk dilakukan.

“Anda akan memiliki perekonomian yang lebih sehat dan Anda akan menghasilkan lebih banyak uang jika lebih ramah lingkungan, dan keuangan sangat bagus dalam mencari keuntungan,” katanya.

2. Berbagai hal perlu diperhitungkan oleh negara berkembang

Aksi unjuk rasa terkait perubahan iklim di Jerman pada 2019 lalu. (unsplash.com/Markus Spiske)

Seorang juru bicara Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengatakan kepada bahwa meskipun volume keuangan saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan aksi iklim, arus keuangan tidak selaras dengan tujuan iklim, khususnya di negara-negara berkembang.

“Menjembatani kesenjangan antara proyek iklim di kawasan ini dan modal dari investor serta lembaga keuangan di negara maju memerlukan penggunaan keuangan publik (terutama dukungan internasional) sebagai pendorong, peningkatan kondisi investasi domestik, dan pemikiran ulang terhadap aspek-aspek sistem keuangan global,” kata juru bicara itu.

Ia mencatat bahwa utang yang tinggi dan premi risiko membatasi akses negara-negara termiskin terhadap keuangan dan menghambat pencapaian tujuan iklim jangka panjang.

Mereka kemudian mengatakan bahwa mencapai kesepakatan yang solid mengenai NCQG merupakan tujuan utama COP-29. Meskipun pendanaan publik tetap penting untuk tujuan iklim jangka panjang, hal itu tidak cukup untuk menutup kesenjangan pendanaan.

“Keputusan NCQG selanjutnya perlu secara eksplisit menghubungkan upaya yang sedang berlangsung untuk mengatasi masalah dan hambatan yang berkaitan dengan arsitektur keuangan global, seperti akses dan biaya modal di negara-negara berkembang,” imbuh mereka.

3. Inggris siap memimpin transisi energi bersih

Ilustrasi bendera Inggris (Unsplash.com/Roberto Catarinicchia)
Ilustrasi bendera Inggris (Unsplash.com/Roberto Catarinicchia)

Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, menyatakan kesiapan negaranya untuk memimpin transisi energi bersih pada KTT COP-29.

“Dengan bertindak tegas dan cepat, Inggris memiliki kesempatan memimpin dunia dalam industri masa depan, bekerja sama dengan dunia bisnis, menciptakan keamanan energi yang nyata, mengurangi tagihan energi, membangun pekerjaan serta rantai pasokan di Inggris,” kata Starmer, dilansir ANTARA.

Perdana menteri tersebut menyampaikan bahwa pemerintahannya memiliki misi untuk menjadikan Inggris sebagai kekuatan super energi bersih yang akan memacu semangat pusat industrinya dan menghilangkan hambatan untuk pertumbuhan di kota-kota dan desa-desa yang bekerja keras.

Hal ini juga sejalan dengan kepentingan Inggris untuk memperkuat keamanan nasional, melindungi anak-anak dan cucu-cucu mereka dari krisis iklim, serta dampaknya terhadap kemakmuran di masa depan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Zidan Patrio
EditorZidan Patrio
Follow Us