Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Potret Masjid Jama di New Delhi, India. (unsplash.com/Varis Ali)
Potret Masjid Jama di New Delhi, India. (unsplash.com/Varis Ali)

Intinya sih...

  • Berbagai laporan menggambarkan orang-orang ditahan, dibawa ke perbatasan Bangladesh, dan dipaksa masuk ke rawa-rawa atau didorong melintasi perbatasan.

  • Mereka juga harus menghadapi kekerasan hingga tembakan peluru karet dari tentara.

  • Aktivis HAM dan pengacara menyebut tindakan India melanggar hukum.

Jakarta, IDN Times - India diduga telah mendeportasi ratusan orang, terutama Muslim, ke Bangladesh tanpa pengadilan. Pejabat dari India dan Bangladesh telah mengakui deportasi ini.

Aktivis dan pengacara mengecam pengusiran itu sebagai tindakan ilegal dan berdasarkan profil etnis, khususnya yang menargetkan Muslim berbahasa Bengali.

Pemerintah India, yang dipimpin oleh Partai Bharatiya Janata (BJP) nasionalis Hindu pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi, menyatakan bahwa orang-orang yang dideportasi adalah imigran tidak berdokumen. Pejabat tinggi menyebut para migran tersebut sebagai rayap dan penyusup, dilansir The Straits Times, Jumat (27/6/2025).

Tindakan-tindakan Delhi tersebut telah memicu ketakutan di antara sekitar 200 juta umat Muslim di India. Ini terutama mereka yang berbahasa Bengali, bahasa yang digunakan secara luas di India timur dan Bangladesh.

1. Metode deportasi yang dilakukan oleh India

Berbagai laporan menggambarkan orang-orang ditahan, dibawa ke perbatasan Bangladesh, dan dipaksa masuk ke rawa-rawa atau didorong melintasi perbatasan. Bahkan, terkadang mereka mendapatkan todongan senjata.

Beberapa orang yang dideportasi melaporkan dipukuli oleh penjaga perbatasan Bangladesh (BGB). Mereka juga harus menghadapi kekerasan hingga tembakan peluru karet dari tentara yang tergabung dalam Pasukan Keamanan Perbatasan India (BSF), ketika mencoba kembali ke India.

Dhaka melaporkan, Delhi telah mengusir lebih dari 1.600 orang melintasi perbatasannya sejak Mei. Sementara, media India memperkirakan jumlahnya bisa mencapai 2.500 orang. BGB mengatakan pihaknya telah memulangkan 100 orang yang didorong menyeberang karena mereka adalah warga negara India.

Kendati pihak berwenang India tidak merespons pertanyaan mengenai jumlah orang yang ditahan dan dideportasi, namun kepala menteri negara bagian Assam mengatakan bahwa lebih dari 300 orang telah dideportasi ke Bangladesh.

Sementara itu, secara terpisah kepala polisi Gujarat mengatakan lebih dari 6.500 orang telah ditangkap di negara bagian barat itu. Banyak dari mereka dilaporkan adalah warga India yang berbahasa Bengali dan kemudian dibebaskan.

2. Aktivis HAM dan pengacara menyebut tindakan India melanggar hukum

Rahima Begum dari negara bagian Assam di timur India, mengatakan polisi menahannya selama beberapa hari pada akhir Mei, sebelum membawanya ke perbatasan Bangladesh. Ia mengatakan bahwa dirinya bersama lima orang lainnya, semuanya Muslim, dibawa oleh polisi India dan memaksa mereka ke rawa-rawa dalam kegelapan.

"Saya dipukuli oleh BGB, ketika saya mencoba lari ke sisi Bangladesh. Saya tidak bisa melarikan diri. BSF mengatakan mereka akan menembak mati kami, jika kami tidak pindah ke sisi lain," ungkapnya.

Menurut aktivis hak asasi manusia (HAM), banyak dari mereka yang menjadi sasaran kampanye tersebut adalah buruh bergaji rendah dari negara bagian yang diperintah oleh BJP. Aktivis HAM dan pengacara mengkritik tindakan India tersebut sebagai melanggar hukum

"Umat Muslim, terutama dari wilayah timur negara ini, merasa ketakutan. Jutaan orang hidup dalam ketakutan eksistensial ini," kata Harsh Mander, aktivis HAM veteran India

"Orang-orang beridentitas Muslim yang kebetulan berbahasa Bengali menjadi sasaran sebagai bagian dari kampanye kebencian ideologis," sambungnya.

Sanjay Hegde, pengacara hak sipil yang berbasis di New Delhi, mengatakan, India tidak dapat mendeportasi orang, kecuali ada negara yang menerima mereka. Hukum India tidak memperbolehkan orang dideportasi tanpa proses hukum.

3. Tindakan India ini diperparah menyusul insiden mematikan di Pahalgam

Ilustrasi bendera India. (pexels.com/Studio Art Smile)

Amnesty International melaporkan, deportasi tersebut dilihat dalam konteks Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan (CAA) India yang kontroversial. Regulasi tersebut disahkan pada 2019, yang mempercepat kewarganegaraan bagi pengungsi non-Muslim dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan, namun mengecualikan Muslim.

Para kritikus berpendapat undang-undang itu menciptakan tes kewarganegaraan berbasis agama, dan dapat digunakan untuk mencabut hak pilih warga Muslim India. Ini terutama bila dipadukan dengan usulan Daftar Warga Negara Nasional (NRC).

Upaya saat ini untuk mengusir warga Bangladesh yang 'ilegal' telah mendapatkan momentum di India. Ini setelah 22 April 2025, ketika orang-orang bersenjata yang diduga terkait dengan Pakistan menewaskan 26 orang di kota Pahalgam di Kashmir yang dikelola India. Akibatnya, memicu sentimen anti-Muslim di seluruh negeri.

Apoorvanand, profesor bahasa Hindi di Delhi University, mengatakan bahwa serangan Pahalgam memberi BJP alasan untuk mengusir kelompok Muslim yang rentan, seperti Rohingya atau migran Muslim berbahasa Bengali.

"Di bawah pemerintahan BJP, identiras Muslim dalam bentuk apapun identik dengan terorisme di India. Pemerintah memperlakukan Muslim Bengali sebagai warga Bangladesh ilegal," ungkapnya, dikutip dari Al Jazeera.

Di sisi lain, juru bicara BJP, Manoj Barauh, membantah bahwa tindakan tersebut berdasar pada agama. Menurutnya, umat Hindu yang tidak memiliki dokumen tidak didorong ke Bangladesh karena mereka bisa menghadapi penganiayaan agama di negara dengan mayoritas Muslim.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team