Jakarta, IDN Times – Presiden Vladimir Putin telah mengungkapkan sejumlah alasan di balik pengerahan militer Rusia ke Ukraina atas nama ‘operasi militer spesial’. Sebagai penegasan, Putin menolak narasi Barat yang menyebut aksi militer itu sebagai invasi atau agresi.
Di antara alasan yang dia sampaikan adalah melindungi warga Ukraina, khususnya yang beretnis Rusia, dari kejahatan genosida yang dilancarkan oleh pemerintahan Volodymyr Zelenskyy.
Mobilisasi militer juga dikerahkan untuk menjawab permintaan Donetsk dan Luhansk, dua wilayah di timur Ukraina yang memproklamirkan diri sebagai negara pada 2014, yang sedang bertempur melawan pasukan Rusia. Pada titik ini, Putin juga menuduh Ukraina telah melakukan kejahatan perang di Donetsk dan Luhansk.
“Saya membuat keputusan untuk melakukan operasi militer khusus, dengan tujuan melindungi orang-orang yang menjadi sasaran pelecehan dan genosida dari rezim Kiev. Kami akan mewujudkan de-militerisasi dan mengadili mereka yang melakukan kejahatan terhadap orang-orang, termasuk warga negara Rusia,” kata Putin pada Kamis (24/2/2022).
Putin berjanji untuk menggunakan serangan yang presisi, sehingga tujuannya tercapai tanpa menyasar instalasi sipil, apalagi membunuh warga non-kombatan. Faktanya, memasuki hari keenam, lebih dari 350 warga sipil Ukraina meninggal dunia, 14 di antaranya adalah anak-anak.
Kini, situasinya semakin runyam. Masing-masing pihak dituduh telah melakukan kejahatan perang. Rusia menuduh Ukraina menyiksa tawanan perang dari kelompok militer. Di sisi lain, Ukraina menuduh Rusia melanggar hukum Jenewa karena menggunakan bom asap untuk menyerang kota-kota di Ukraina.
Lantas, apakah alasan Rusia untuk melancarkan operasi militer atau invasi dapat dibenarkan secara hukum internasional?