Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi (Unsplash.com/Yoda Adaman)
ilustrasi (Unsplash.com/Yoda Adaman)

Jakarta, IDN Times - World Weather Attribution (WWA) menjelaskan hasil penelitiannya bahwa perubahan iklim merupakan penyebab kekeringan ekstrem di wilayah Irak, Iran dan Suriah. Pembakaran bahan bakar fosil memicu perubahan iklim dan menaikkan suhu yang itu membuat kekeringan lebih mudah terjadi di tiga negara tersebut.

Pada Rabu (8/11/2023), kelompok itu juga mengatakan, bahwa konflik dan ketidakstabilan politik telah mengurangi kemampuan masyarakat untuk merespon kekeringan. Penelitian dilakukan pada Juli 2020 hingga Juni 2023 di dua wiayah yang terkena dampak paling parah, yakni di Iran dan lembah sungai Tigris dan Eufrat yang melintasi Suriah dan Irak.

Negara kaya dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim dengan kekayaan bahan bakar fosil. Namun negara miskin akan semakin terguncang, selain karena konflik, tapi juga karena bencana kekeringan. Perubahan iklim meningkatkan kesenjangan antara negara kaya dengan negara miskin.

1. Tidak diklasifikasikan sebagai kekeringan alami

ilustrasi sungai (Unsplash.com/NASA)

Para peneliti WWA mengatakan, perubahan iklim yang disebabkan manusia telah meningkatkan intensitas kekeringan. Sehingga hal itu tidak diklasifikasikan sebagai kekeringan alami.

Dilansir AFP, para peneliti mengatakan, perubahan iklim memicu kenaikan suhu yang tinggi. Proses itu membuat Suriah dan Irak 25 kali lebih mungkin mengalami kekeringan. Ini juga terjadi di Iran, di mana negara itu 16 kali lebih mungkin mengalami bencana tersebut.

"Setelah curah hujan yang cukup tinggi pada tahun 2020 dan panen yang baik, curah hujan yang sangat rendah selama tiga tahun diikuti dengan suhu yang sangat tinggi menyebabkan kekeringan dengan dampak yang sangat parah pada akses pertanian dan air minum," kata rekan penulis Friederike Otto, dari Grantham Institute.

2. Wilayah Iran, Irak dan Suriah jadi wilayah yang lebih sulit untuk ditinggali

Friederike Otto menjelaskan, tanpa pemanasan global 1,2 deajat Celcius sejak pertengahan abad ke-19, sebenarnya saat ini kita tidak akan mengalami kekeringan yang kering sama sekali. Tapi perubahan iklim telah mengubahnya.

Dilansir Associated Press, kekeringan ekstrem yang terjadi di Asia Barat adalah kasus perubahan iklim yang tidak wajar dan itu memperparah kondisi kering alami menjadi krisis kemanusiaan. Kekeringan tersebut menyebabkan kehausan, kelaparan dan kehilangan tempat tinggal.

Hasil dari penelitian WWA memang belum mendapatkan tinjauan dari sejawat. Namun, hal itu telah dinilai mengikuti teknik yang valid secara ilmiah untuk mencari jejak pemanasan global.

"Perubahan iklim global yang disebabkan oleh manusia telah membuat kehidupan puluhan juta orang di Asia Barat menjadi jauh lebih sulit. Dengan meningkatnya pemanasan, Suriah, Irak, dan Iran akan menjadi tempat yang lebih sulit untuk ditinggali," jelas rekan penulis studi, Mohammed Rahimi, profesor klimatologi di Universitas Semnan di Iran.

3. Perubahan iklim meningkatkan kesenjangan antara negara kaya dengan negara miskin

Kekeringan memang bukan hal aneh di Timur Tengah. Namun konflik di wilayah tersebut, membuat semakin rentan karena rusaknya infrastruktur dan melemahnya pengelolaan air.

"Meskipun konflik itu sendiri meningkatkan kerentanan terhadap kekeringan dengan berkontribusi terhadap degradasi lahan, melemahkan pengelolaan air dan memburuknya infrastruktur, penelitian juga menunjukkan bahwa perubahan iklim, khususnya di wilayah ini, telah berdampak pada perubahan iklim sebagai pengganda ancaman (untuk konflik)," kata Rana El Hajj, dari Bulan Sabit Merah dikutip dari The Guardian.

Di tahun-tahun mendatang, Otto menjelaskan, bahwa kekeringan seperti itu akan terus meningkat sampai manusia benar-benar berhenti menggunakan bahan bakar fosil. Akan banyak orang yang kekurangan air, petani kehilangan lahan dan tempat tinggal, serta lebih banyak orang membayar lebih mahal untuk makanan.

Otto juga mengatakan, meski ada negara-negara yang menjadi sangat kaya karena penjualan bahan bakar fosil dan dapat membayar langkah adaptif, tapi negara miskin yang terguncang akibat perang tidak bisa melakukannya.

"Hal ini juga berlaku bagi masyarakat miskin di masyarakat kaya, dan sekali lagi menyoroti bagaimana pembakaran bahan bakar fosil yang terus menerus meningkatkan kesenjangan," kata Otto.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorPri Saja